Advokat Keluhkan soal Impunitas, Habiburokhman Pastikan Diakomodasi dalam RUU KUHAP

Advokat Keluhkan soal Impunitas, Habiburokhman Pastikan Diakomodasi dalam RUU KUHAP


Advokat Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengeluhkan terkait perlindungan bagi advokat. Hal ini disampaikan langsung saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

“Sebenarnya kadang-kadang kita ini bekerja keras melakukan pembelaan, pendampingan terhadap warga negara yang berhadapan dengan negara, tetapi pada ujungnya kami sendiri yang kena penjara,” kata Tjoetjoe.

Dia meminta ada penguatan hak impunitas advokat agar bisa terjamin selama mendampingi klien dalam menghadapi proses hukum.

“Advokat tidak sakti-sakti amat, kalau salah melenceng kadang-kadang terdakwanya lolos kami-nya yang masuk,” ujarnya.

Menanggapi itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman pun menegaskan impunitas advokat telah diakomodasi. Dia mengatakan perihal impunitas itu telah dibahas beberapa bulan lalu.

“Pasal terkait impunitas advokat itu sudah kita sepakati untuk dimasukkan di KUHAP. Jadi yang bapak usulkan, bapak baru mengusulkan hari ini, ini tanggal berapa nih, Juni, dua bulan lalu sudah kita akomodir pak,” kata Habiburokhman yang disambut tepuk tangan peserta rapat.

Usulan lainnya datang dari perwakilan ahasiwa Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Wildan. Dia memberi masukan, penyidik bisa langsung mendatangi tersangka atau saksi yang mangkir dalam pemeriksaan.

“Di Pasal 30, usulan kami yang kedua, di ayat 3 ini ada sedikit masukan mengenai Pasal 30 dalam ayat 2, dalam hal tersangka dan atau saksi menghindar dari pemeriksaan, penyidik dapat langsung mendatangi kediaman tersangka dan atau saksi, tanpa terlebih dahulu dilakukan pemanggilan,” kata Wildan.

Menurutnya, tambahan ayat 3 di dalam ayat 2 itu demi menjamin tindakan dari penyidik khususnya dalam proses penyidikan. Seperti penggeledahan, penyitaan, atau upaya paksa berupa penjemputan yang kerap kali tidak sesuai dengan jam kerja yang seperti disampaikan oleh kepolisian.

“Itu harus mempertimbangkan juga prinsip-prinsip perlindungan saksi dan korban, sejalan seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Dan hal ini menjadi syarat formil yang tidak boleh dilewatkan untuk mencegah penyalahgunaan dari penyidik khususnya,” ujarnya menegaskan.

Sementara itu, di ayat 2 pasal tersebut Wildan juga menyarankan agar adanya penambahan ayat, yang berkaitan dengan upaya pengumpulan alat bukti. Terkhusus, yang bisa berdampak pada hak privasi atau keselamatan saksi dan korban, wajib dilakukan dengan mengedepankan prinsip perlindungan saksi.

“Lalu di ayat tiganya, tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri setempat,” jelas Wildan.

Ia menegaskan, hal ini bertujuan untuk menjaga kontrol yudisial dan juga tindakan represif yang kerap kali dilakukan oleh pihak, khususnya aparatur penegak hukum terhadap mahasiswa.

“Mungkin dalam praktiknya sedikit kesulitan Pak, karena mungkin terlalu lama dari segi administrasi, tapi kami juga melihat dari segi hak kami atau hak warga negara, ataupun hak saksi ataupun tersangkanya. Karena kan belum tentu setiap yang dijemput paksa sudah otomatis ditersangka. Nah itu yang kami cegah dan kami usulkan,” pungkasnya.
 

Komentar