Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), A Koswara mulanya menyatakan, komposisi penggunaan garam saat ini, nyaris 5 juta ton. Sebesar 22 persennya mengandung natrium klorida (NaCl) 95 persen.
“Artinya sekitar 1,1 juta ton garam yang dipakai dengan kualitas yang sekitar 95 persen NaCl-nya. Sementara produksi garam kita dari petambak, 1,8 juta ton. Artinya, masih ada sisa yang tidak terserap di sektor atau segmen yang membutuhkan NaCl tinggi, sekitar 97 persen. Kebutuhan (garam) yang NaCl-nya tinggi ini, pangsa pasarnya lebih besar, sekitar 77 persen,” tutur Koswara dikutip dari siniar bertajuk ‘FoodAgri Insight’, Minggu (22/6/2025).
Hanya saja, kata dia, terdapat kendala dalam proses pembuatan garam NACL tinggi, yang menyebabkan petambak tidak bisa memenuhi hal ini. Pertama, berkaitan dengan kondisi alam alias kondisi tanah.
“Kondisi tanah kita dengan teknologi yang dilakukan para petambak ini, masih menghasilkan garam yang tidak bisa masuk ke industri yang membutuhkan NaCl tinggi,” ujarnya.
Kedua, cara produksi dari petambak tergolong masih tradisional, namun Harga Pokok Produksinya (HPP) cukup tinggi. Fenomena itu menyebabkan garam produksi petambak sulit bersaing dengan produk impor yang harganya lebih rendah. Akibatnya, sejumlah industri tidak bisa menggunakan garam rakyat.
“Inilah tugas kita bersama, supaya garam rakyat punya kualitas yang bisa masuk ke sektor industri. Bantuan-bantuan yang kita lakukan adalah untuk memenuhi itu,” kata dia.
Berikutnya, lanjut Koswara, sebanyak 77 persen sektor industri yang membutuhkan NaCl tinggi, hampir 60 persen dicukupi lewat impor. Memang ada yang dipenuhi dari garam dalam negeri, namun bukan berasal dari petambak rakyat.
“Itu garamnya diproduksi swasta yang mengolah kembali garam dari petambak atau dia membuat sendiri. Kondisinya seperti itu,” ungkapnya.
Tantangan ke depan, kata Koswara, garam rakyat yang diproduksi petambak, dapat memenuhi sektor industri di tanah air. Sehingga porsi untuk dunia usaha bisa bertambah. Karena yang sekarang, hanya sekitar 0,3 juta ton, pemenuhan kebutuhan dicukupi dunia usaha dengan membuat garam.
“Inilah yang perlu kita perbaiki. Dari sisi petambak, kita tingkatkan kualitasnya. Supaya bisa masuk, dan dunia usaha juga supaya ikut menambah produktivitasnya di dalam negeri yang menghasilkan garam untuk industri,” kata Koswara.
Bila bicara peluang investasi garam, menurut Koswara, masih tergolong bagus. Alasannya, sektor industri melakukan 77 persen penyerapan.
“Untuk sektor industri kita masih impor sekitar 60 persen dari kebutuhan, sekitar 3 juta ton itu. Kalau investor masuk, mengelola, memproduksi garam, ini akan bagus harganya. Karena bukan pakai harga (garam) konsumsi. Namun pakai harga industri yang nilainya berkali-kali lipat,” ucap dia.
Artinya, lanjut Koswara, peluang peluang ekonomi dari bisnis garam untuk industri di Indonesia, cukup menggiurkan. Tinggal bagaimana seluruh pihak bisa berkontribusi untuk menarik minat dari investor. “Kita berdayakan untuk bisa memproduksi garam dengan banyak di kita,” pungkasnya.