Larangan suporter tandang pada gelaran Super League 2025/2026 terus mendapat sorotan tajam. Regulasi ini dianggap plin-plan dan dicurigai memiliki motif untuk meraup keuntungan.
Pendapat ini dikemukakan langsung oleh Pengamat sepak bola dari Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali, yang juga menyampaikan kritik keras terhadap sikap I.League selaku operator kompetisi.
“Menurut saya I.League plin-plan ya karena sebelumnya kita akan membuka ruang untuk dibukanya supporter away,” ujar Akmal kepada Inilah.com Kamis (7/8/2025).
Akmal menyayangkan sikap I.League yang dinilainya tidak konsisten dalam menerapkan kebijakan. Padahal sebelumnya, sempat beredar wacana pembukaan akses bagi suporter tandang di laga-laga berisiko rendah.
“Kemudian di tengah jalan kita sedang membagi zonanya antara high-risk match, middle-risk match, kemudian juga low-risk match. Mana tim-tim pertandingan yang tingkat risikonya tinggi, sedang, dan ini. Tapi ujung-ujungnya sekarang belum ada kepastian apakah dibolehkan atau tidak,” bebernya.
Akmal menilai larangan kehadiran suporter tandang di Super League mencerminkan lemahnya tata kelola yang dijalankan operator liga. Seperti yang disinggung di awal, ia curiga kebijakan tersebut bisa dimanfaatkan untuk meraup keuntungan dari potensi pelanggaran yang terjadi.
“Dan saya pikir ini adalah salah satu kelemahan dari LIB yang harus dibenahi. LIB harus punya sikap, jangan sampai kemudian nanti justru dimaksimalkan untuk mendapatkan uang-uang dari pelanggaran yang terjadi,” tegasnya.
Lebih jauh, Akmal merasa keputusan yang diambil oleh I.League terkesan abu-abu dan tidak tegas, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi klub dan suporter.
“Jadi abu-abu lah kebijakan ini, apa boleh atau tidak, nanti tiba-tiba ada suporter away, tiba-tiba dapat sanksi dari PSSI dan sebagainya, dari Komite Disiplin PSSI,” ucapnya.
“Akhirnya jadi tempat untuk mencari keuntungan lewat denda kepada klub-klub yang suporternya akhirnya datang ke lapangan. Karena apa? Karena aturannya dan regulasinya abu-abu,” lanjut dia.
Akmal menegaskan, semakin lama larangan suporter tandang diberlakukan, semakin besar pula potensi masalah yang bisa meledak dan menjadi bola api bagi sepak bola Indonesia.
Maka dari itu, ia mendorong adanya pendekatan yang lebih humanis dan berbasis dialog.
“Mungkin di lapangan tidak ada masalah, tapi di luar lapangan ada masalah. Saya pikir cara penyelesaian yang paling bagus adalah perbanyak silaturahmi dan itu salah satu kesimpulan. Misalnya Persija-Persib, dari sekarang sudah dipersiapkan bagaimana mereka bertemu, apakah kemudian perlu ada penonton dan sebagainya,” tutur Akmal.