Aktivis AS Pro-Palestina Mahmoud Khalil Gugat Trump Rp325 Miliar

Aktivis AS Pro-Palestina Mahmoud Khalil Gugat Trump Rp325 Miliar

Ikhsan Medium.jpeg

Minggu, 13 Juli 2025 – 17:35 WIB

Aktivis AS pro-Palestina, Mahmoud Khalil, mencium istrinya, Noor Abdalla, usai dibebaskan oleh hakim federal setelah 104 hari mendekam di balik jeruji tahanan. (Foto: Getty Images/Spencer Platt)

Aktivis AS pro-Palestina, Mahmoud Khalil, mencium istrinya, Noor Abdalla, usai dibebaskan oleh hakim federal setelah 104 hari mendekam di balik jeruji tahanan. (Foto: Getty Images/Spencer Platt)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Ini bukan sekadar angka. Ini soal perlawanan. Aktivis AS pro-Palestina, Mahmoud Khalil, menggebrak. Ia menuntut ganti rugi US$20 juta, atau sekitar Rp325 miliar, kepada pemerintahan Donald Trump. Tuntutan ini bukan kaleng-kaleng, diajukan setelah Khalil dibebaskan dari pusat detensi Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE). Nyaris dideportasi gara-gara aksinya di kampus Columbia University.

Kamis lalu (10/7/2025), tim hukum Khalil melayangkan berkas gugatan. Isinya menuding pemerintah melakukan penahanan ilegal dan upaya pencemaran nama baik dengan menuduhnya antisemit. Ini baru permulaan, langkah awal sebelum gugatan resmi di bawah Federal Tort Claims Act. Targetnya jelas: Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), ICE, dan Departemen Luar Negeri.

Khalil, pria 30 tahun yang baru saja lulus dari Columbia University, menegaskan ini bukan cuma soal duit. Ini soal pesan. Dia tak akan diam. “Mereka menyalahgunakan kekuasaan karena merasa tak tersentuh. Jika tidak ada akuntabilitas, maka ini akan terus terjadi,” kata Khalil di apartemennya di Manhattan, sambil menggendong putranya yang baru berusia 10 minggu.

Jika tuntutannya dikabulkan, Khalil berjanji akan membagi uang ganti rugi itu kepada orang lain yang menurutnya juga menjadi sasaran upaya ‘gagal’ pemerintahan Trump dalam membungkam suara pro-Palestina. Kalau tak ada penyelesaian? Dia menuntut permintaan maaf resmi dan perubahan kebijakan deportasi. Tak tanggung-tanggung!

Juru bicara DHS, Tricia McLaughlin, menanggapi klaim Khalil dengan menyebutnya ‘absurd’. Ia malah balik menuduh Khalil menyebarkan ‘perilaku serta retorika penuh kebencian’ yang mengancam mahasiswa Yahudi. Sementara itu, Departemen Luar Negeri mengeklaim tindakan mereka terhadap Khalil sesuai hukum. Gedung Putih dan ICE? Masih bungkam.

Ditangkap Dini Hari, Disiksa di Tahanan

Gugatan Khalil mengungkap detail penangkapan yang bikin geleng-geleng. Khalil ditangkap pada 8 Maret malam, saat pulang makan malam bersama istrinya, Noor Abdalla. Agen federal berpakaian preman, katanya, menangkapnya tanpa surat perintah. Petugas itu, ironisnya, terkejut saat tahu Khalil adalah penduduk tetap sah AS.

Khalil kemudian dibawa semalam ke pusat detensi imigrasi di Jena, Louisiana. Lokasinya terpencil, sengaja dirahasiakan dari keluarga dan pengacaranya. Di dalam tahanan, ia mengaku tak diberi obat untuk sakit maag, harus tidur di bawah lampu menyala terang, dan hanya mendapat makanan ‘nyaris tak layak konsumsi’. Berat badannya? Turun 6,8 kilogram. “Saya tidak ingat ada satu malam pun saya tidur dalam keadaan kenyang,” keluhnya.

Beberapa minggu setelah ditahan, seorang tahanan menunjukkan wajah Khalil muncul di layar televisi dalam penjara.

Memo baru dari Menteri Luar Negeri Marco Rubio pun sempat bikin heboh. Ia mengakui Khalil tidak melanggar hukum, tapi menyebut keyakinannya bisa merugikan kepentingan kebijakan luar negeri AS. Makanya, layak dideportasi. Logika yang aneh.

“Keyakinan saya sederhana: saya tidak ingin uang pajak atau uang kuliah saya dipakai untuk investasi di produsen senjata yang digunakan untuk genosida,” tegas Khalil.

Selama di tahanan, Khalil jadi idola di antara 1.200 tahanan lain. Ia membuka ‘jam kantor’ untuk membantu sesama tahanan mengurus dokumen dan mencari penerjemah. Pengalamannya bekerja di Kedutaan Inggris di Beirut jadi modal. Malam harinya, mereka main kartu dan saling berbagi cerita. “Ini sangat menyayat hati. Banyak dari mereka tidak tahu apakah mereka punya hak,” tuturnya.

Setelah 104 hari mendekam, Khalil akhirnya dibebaskan oleh hakim federal pada 20 Juni lalu. Hakim menilai upaya pemerintah mendeportasinya dengan alasan kebijakan luar negeri kemungkinan bertentangan dengan konstitusi.

Meski sudah bebas, Khalil kini menghadapi tuduhan baru: dugaan memberikan informasi tidak akurat dalam pengajuan green card-nya. Kuasa hukumnya menyebut tuduhan ini tak berdasar dan bermotif balas dendam. Mereka pun meminta hakim untuk mencabutnya. Perjuangan Khalil sepertinya masih panjang.

Topik
Komentar

Komentar