Dalam Naskah Akademik “Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial pada Pendidikan Dasar dan Menengah” disampaikan bahwa perlunya pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial untuk membangun keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif dan pemecahan masalah di tengah dunia yang terus berubah (Kemdikdasmen, 2025). Disebutkan juga urgensi integrasi koding dan kecerdasan artifisial yang semakin meningkat seiring dengan perkembangan industri 4.0 dan 5.0 yang membutuhkan sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat (Kemdikdasmen, 2025).
Argumentasi yang dipaparkan dalam naskah akademik tersebut nampak meyakinkan. Namun, ada persoalan mendasar yang perlu diperhatikan seksama oleh pemerintah. Misal, beberapa waktu lalu cukup ramai diberitakan terkait temuan ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali yang tak bisa membaca dengan lancar. Pemerintah menyatakan bahwa anak-anak tersebut akan diberikan semacam remedial atau layanan pendidikan tambahan agar mereka dapat membaca (Metronews.com, 24/04/2025). Selain berita dari Buleleng, dalam beberapa kesempatan saya juga mendengar cerita langsung dari guru-guru SMP di Jabodetabek tentang anak-anak didik mereka yang belum lancar membaca.
Pernyataan pemerintah untuk mendampingi dan memberi layanan tambahan sangat perlu diwujudkan secara sistematis, terencana, dan dengan evaluasi yang memadai. Sebab, literasi merupakan fundamen dasar yang harus dimiliki oleh anak-anak agar dapat menelusuri berbagai literatur secara mandiri dan kritis.

Jika membaca dan memahami teks sederhana saja sulit, bagaimana bisa mempelajari berbagai literatur dan sumber informasi yang lebih kompleks? Bagaimana bisa berpikir kritis dan inovatif? Bagaimana bisa bersaing dengan ragam Artificial Intelligence atau juga mampu mempelajari computational systems? Target meraih bonus demografi akan menjadi imajinasi belaka jika anak-anak di usia muda hingga dewasa jika literasi negeri ini jongkok. Pemerintah tidak boleh lengah dan berdiam diri, sebab ini alarm tanda bahaya yang sudah berbunyi nyaring.
Perdebatan Dini: Membaca atau Bermain?
Literasi tak semata menjadikan anak-anak memahami huruf dan angka. Literasi merupakan proses budaya yang memungkinkan anak-anak untuk bergelut dengan beragam teks yang akan mereka hadapi di ruang aktual keseharian. Penguasaan anak-anak terhadap literasi akan memampukan mereka beradaptasi dan terus mempelajari berbagai hal secara mandiri berbagai hal yang dibutuhkan untuk menghadapi kehidupan yang dinamis.
Di ruang aktual nampak ada perdebatan antara orangtua yang fokus mengajarkan anak membaca sejak usia dini dengan orangtua yang berpendapat bahwa di usia dini anak-anak sudah sepatutnya bermain dengan leluasa. Perdebatan ini berlanjut di media sosial di tengah ragam konten yang memunculkan kutipan dari para ahli dengan basis argumennya masing-masing.
Akan tetapi, yang kemudian sering luput adalah pembahasan konteks sosial, ekonomi atau budaya dari keluarga anak-anak. Sebab diskursus yang mengemuka seringkali menjadi hitam putih dan dikotomis “mana yang utama membaca sejak dini atau bermain yang banyak di usia dini?” Lalu fenomena terkait bagaimana kondisi sosial, budaya dan ekonomi keluarga anak-anak justru tidak menjadi bahasan. Padahal konteks tersebutlah yang menjadi sangat utama untuk diperhatikan, ketimbang kapan waktu yang tepat untuk internalisasi membaca.
Selain itu, upaya untuk mendesak segera anak-anak membaca buku sejak dini tidak diimbangi dengan membangun budaya baca di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat. Sehingga ada konteks di mana anak-anak yang sudah dapat membaca teks sederhana tidak terlatih untuk mendalami teks-teks buku yang sesuai usia mereka, untuk mendapatkan pengalaman lebih lanjut dari hasil pelajaran membaca teks. Pengalaman untuk membaca buku sejak dini dengan bimbingan orangtua dan guru menjadi sangat utama, sebab pengalaman ini akan menjadi memori baik bagi anak-anak hingga mereka dewasa.
Lalu mana yang lebih tepat, bermain atau internalisasi huruf dan angka lebih awal? Saya rasa akan sangat berbeda untuk kondisi setiap anak. Bermain merupakan stimulasi penting bagi anak-anak di usia dini. Ki Hadjar Dewantara (KHD) banyak menulis ulasan tentang pentingnya bermain bagi anak-anak. KHD bahkan menulis “permainan anak itulah pendidikan”. Jadi bermain memang perkara penting yang harus dilakukan oleh anak-anak. Dalam permainan ada ragam aktivitas yang memungkinkan anak terstimulasi secara fisik dan mental dan itu akan memperkaya diri anak-anak.
Kemudian jika terkait dengan membaca sejak dini apa yang terjadi? Ketika ada pihak yang menyarankan anak usia dini untuk bermain ketimbang belajar (dalam konteks spesifik membaca) tentu tidak bisa diterapkan secara hitam putih. Konteks sosial, budaya dan ekonomi keluarga sangat berpengaruh. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki kapital ekonomi dan akademik memadai meski dibebaskan bermain akan tetap terpapar bacaan memadai, berkesempatan dibacakan sebelum tidur, dibelikan buku-buku, dan juga tontonan yang dikurasi oleh orangtua. Meski bermain gawai dan game ada kurasi memadai dari orangtua terkait konten yang dikonsumsi anak-anak.

Jadi ketika ada anjuran untuk “biarkan saja bermain, kan masih anak-anak”. Bisa jadi itu menjebak. Ketika orangtua dan guru sadar sepenuhnya konteks bermain yang memberi stimulasi penting untuk anak, maka bermain menjadi sangat utama. Sebab, dalam bermain tersebut, Jika menggunakan bahasa Ki Hadjar Dewantara, anak-anak melatih panca inderanya, melatih pikiran dan rasa, membangun budi pekerti, dan membangun ketahanan fisik. Ada hidden curriculum dalam proses bermain anak-anak tersebut.
Dalam konteks literasi dan numerasi, meski anak-anak ini tidak distimulasi secara optimal untuk membaca atau mengenal angka sejak dini secara drilling, anak-anak ini kemudian mengenal huruf lewat buku-buku, lagu, permainan, atau tontonan yang menstimulasi mereka melatih diri untuk membaca teks. Hal tersebut banyak dibahas oleh Jim Trelease dalam bukunya yang popular The Read-Aloud Handbook.
Akan tetapi, jika kata bermain artinya anak-anak dibebaslepaskan oleh orangtua karena mereka kurang aware terhadap perkebangan anak atau sibuk dengan pekerjaannya, tentu saja hal tersebut perlu menjadi alarm tanda bahaya. Kondisi ini akan menyebabkan orangtua tidak mengetahui bagaimana tumbuh kembang anak-anak. Jika itu terjadi pada akhirnya anak-anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan mengoptimalkan fisik, mental, dan sosial yang harusnya distimulasi melalui permainan atau pembelajaran di sekolah.
Poin yang perlu diperhatikan
Kondisi yang terjadi merupakan fakta sosial yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, internalisasi literasi dan numerasi di ruang persekolahan, keluarga, masyarakat, atau dunia digital tidak berjalan secara optimal. Kedua, intervensi kebijakan untuk membantu anak-anak mengoptimalkan dasar kemampuan seperti literasi dan numerasi menjadi semakin urgen.
Ketiga, akomodasi kebijakan pemerintah perlu lebih memperhatikan kondisi anak-anak baik dari segi sosial, budaya, dan ekonomi sehingga intervensi yang diberikan menjadi lebih tepat sasaran. Keempat, perpustakaan di desa, sekolah, komunitas perlu dilengkapi koleksinya agar anak terstimulasi ragam bacaan yang sesuai dengan tumbuh kembang mereka.
Apa yang terjadi di Buleleng dan beberapa lokasi hanya percikan kecil, sebab jika pemerintah teliti ada banyak keluhan terkait kemampuan literasi dan numerasi anak-anak di berbagai lokus di Indonesia. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian penuh seluruh dari pemerintah.