Ambalat, Kemerdekaan, dan Martabat Bangsa

Ambalat, Kemerdekaan, dan Martabat Bangsa


Kemerdekaan bukanlah peristiwa yang berhenti pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan adalah proses berkelanjutan yang menuntut kewaspadaan, keberanian, dan kesetiaan pada cita-cita bangsa. Saat kita memperingati Hari Kemerdekaan ke-80, sengketa Ambalat kembali mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan juga menjaga setiap jengkal wilayah dan kedaulatan yang diwariskan.

Ambalat adalah kawasan laut di perbatasan Kalimantan Utara dan Sabah, Malaysia. Wilayah ini kaya minyak dan gas, sekaligus strategis secara geopolitik di Laut Sulawesi. Sejak lama Indonesia memasukkan Ambalat ke dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 dengan prinsip garis tengah (median line) dari garis pangkal pantai Kalimantan.

Penguasaan efektif Indonesia tercermin dari patroli rutin TNI AL, keberadaan nelayan lokal, hingga pemberian konsesi migas kepada perusahaan internasional sebelum 2005. Namun Malaysia mengklaim Ambalat sebagai bagian wilayahnya berdasarkan Peta Nasional 1979—dokumen yang tidak diakui dunia internasional—dan berupaya memperluas pengaruh pasca-putusan International Court of Justice (ICJ) 2002 yang memenangkan mereka atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Sejak itu, ketegangan laut tak terhindarkan: manuver kapal perang, pengusiran patroli, dan adu argumen diplomatik menjadi dinamika harian.

Dasar Filsafat dan Hukum Kedaulatan

Kemerdekaan sejati mengandung tiga dimensi: kedaulatan wilayah, kemandirian politik, dan kesejahteraan rakyat. Ambalat menyentuh ketiganya. Kehilangan Ambalat berarti kehilangan hak berdaulat atas sumber daya energi nasional, melemahkan posisi politik Indonesia di mata dunia, sekaligus menurunkan daya tawar dalam negosiasi batas laut.

Jean Bodin (1530–1596), filsuf politik yang pertama kali merumuskan konsep kedaulatan modern, menegaskan bahwa “sovereignty is the absolute and perpetual power of a commonwealth.” Kedaulatan tidak bisa dibagi atau dinegosiasikan di luar kerangka hukum yang berlaku. Kehilangan wilayah—meski “hanya” laut—berarti menggerus substansi kedaulatan.

Thomas Hobbes (1588–1679) dalam Leviathan menekankan bahwa negara ada untuk melindungi integritas wilayah demi keamanan rakyat. Membiarkan klaim negara lain tanpa respon tegas, menurut pandangan Hobbes, adalah kelalaian yang membuka pintu pada kekacauan (state of nature) di perbatasan.

Sementara Jürgen Habermas (1929– ) menekankan bahwa kedaulatan negara modern harus selaras dengan norma hukum internasional hasil konsensus antarnegara. Dalam konteks Ambalat, dengan berpegang pada UNCLOS 1982 dan menolak klaim sepihak Malaysia, Indonesia justru memperkuat posisinya sebagai negara berdaulat yang bertanggung jawab secara global.

UNCLOS 1982 yang diratifikasi kedua negara jelas mengatur ZEE hingga 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam kasus Ambalat, prinsip median line menempatkan wilayah ini di sisi Indonesia. Selain itu, effective occupation atau penguasaan efektif—patroli TNI AL, penegakan hukum perikanan, dan aktivitas eksplorasi migas—menjadi bukti sah bahwa Indonesia mengelola wilayah ini. Sebaliknya, Peta Nasional 1979 Malaysia hanyalah dokumen unilateralis tanpa kekuatan hukum. Putusan ICJ 2002 pun hanya berlaku untuk Sipadan dan Ligitan, tidak bisa dijadikan dasar klaim Ambalat.

Strategi Mempertahankan Ambalat

Mempertahankan Ambalat menuntut konsistensi strategi di tiga pilar utama. Pertama, penguasaan efektif di lapangan: patroli laut ditingkatkan, kerja sama TNI AL, Bakamla, dan nelayan diperkuat, serta eksplorasi migas dipercepat. Kehadiran nyata adalah pesan bahwa wilayah ini bukan “kosong” dan tak bisa diklaim pihak lain.

Kedua, diplomasi hukum internasional: Indonesia harus konsisten membawa isu Ambalat ke forum ASEAN hingga PBB. Publikasi akademis, policy paper, dan kampanye diplomatik perlu mempertegas klaim kita berdiri di atas hukum internasional, sekaligus menggalang dukungan dari negara sahabat.

Ketiga, pemberdayaan masyarakat pesisir: nelayan di sekitar Ambalat perlu merasakan manfaat langsung dari kekayaan laut. Infrastruktur perikanan, pelabuhan, dan pelatihan harus diperkuat agar mereka menjadi garis depan pertahanan kedaulatan.

Martabat Bangsa di Mata Dunia

Ambalat bukan sekadar titik koordinat di peta laut. Ia simbol kemerdekaan yang hidup. Dunia akan menilai Indonesia dari cara kita menyelesaikan sengketa ini—apakah kita tegas tanpa memicu konflik, konsisten dengan hukum internasional, dan mampu mengubah sengketa menjadi peluang kerja sama.

Martabat bangsa tidak diukur dari seberapa keras kita berteriak, tetapi dari konsistensi, kesabaran, dan kecerdikan memperjuangkan hak. Sejarah kemerdekaan mengingatkan bahwa kedaulatan tidak diberikan, tetapi dipertahankan. Di Ambalat, kita diuji apakah layak menyandang gelar bangsa merdeka.

Komentar