Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Anggaran (Banggar) DPR akhirnya sepakat untuk mengerek naik defisit anggaran yang semula dibatasi Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi Rp662 triliun atau 2,78 persen dari PDB.
Kenaikan ambang batas defisit ini, sanat disayangkan ekonom dari UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH). Dia hanya bisa geleng-geleng kepala. Di awal pemerintahan, Presiden Prabowo menetapkan efisiensi anggaran di kementerian dan lembaga (K/L) senilai Rp306,69 triliun.
Namun, anggaran masih saja tak cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga harus melebarkan defisit APBN 2025 menjadi Rp662 triliun. Di sisi lain, APBN dituntut menjadi peredam guncangan alias shock absorber di tengah ketidakpastian global.
Mengapa defisit APBN 2025 melebar menjadi 2,78 persen dari PDB setelah pemerintah melakukan efisiensi? Jawabannya sederhana, karena belanja pemerintah lebih cepat tumbuh daripada penerimaan negara.
Ibarat kata, lanjut Achmad Nur, orang yang melakukan diet ketat, tapi berat badannya tetap naik. Usut punya usut, pola makan orang itu masih buruk.
Yakni, APBN berhemat di belanja operasional minim, namun menambah pengeluaran secara masif di program-program baru yang belum terbukti efektif. “Pelebaran defisit ini dipicu oleh prioritas politik, bukan rasionalitas fiskal,” ungkapnya.
Ketika banyak program unggulan yang perlu dana besar, kata ANH, penerimaan sektor pajak malah melempem. Ditambah lagi, harga komoditas unggulan asal Indonesia yang terjun bebas.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan pelebaran defisit. “Ujung-ujungnya nanti, utang menggunung, beban bunganya semakin berat, bikin sempit ruang fiskal di masa depan,” imbuhnya.
Jika diteruskan, ANH khawatir, APBN tidak lagi berfungsi sebagai shock absorber. Namun menjelma menjadi bom waktu fiskal yang kapan saja bisa meledak. “Di atas kertas, kondisi APBN memang masih aman. Karena defisit masih di bawah ambang batas 3 persen,” ungkapnya.
Dia pun mempertanyakan, realisasi pembiayaan APBN sepanjang semester I-2025, mencapai Rp283,6 triliun atau 46,0 persen dari pagu. Sedangkan pembiayaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) baru terealisasi Rp5 triliun atau hanya 7,1 persen dari pagu. “Mengindikasikan pemerintah jago menambah utang, tapi gagal mengeksekusi belanja prioritas secara cepat dan tepat,” imbuhnya.
Dalam pembahasan Outlook APBN 2025 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/20245), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengapresiasi Badan Anggaran (Banggar) DPR yang telah menyetujui pelebaran defisit APBN 2025 anggaran menjadi 2,78 persen dari PDB.
Tak hanya itu, Banggar DPR menyetujui langkah Sri Mulyani menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun untuk menambal defisit APBN 2025 yang terus melebar. Sehingga, pemerintah perlu mengeluarkan utang baru lewat SBN (Surat Berharga Negara).
“Ini diharapkan dapat menjadi pendukung dari berbagai program-program pemerintah dan sekaligus melakukan counter cyclical terhadap ekonomi yang mendapatkan tekanan dari perekonomian global,” ujar Sri Mulyani.
Namun, Sri Mulyani belum bisa memastikan apakah SAL sebesar Rp85,6 triliun yang telah disetujui pemanfaatannya itu, akan digunakan semua. Hanya dikatakan, penggunaan SAL tergantung dari realisasi defisit.
“Tergantung dari defisitnya yang akan terjadi, tapi paling tidak sudah mendapat persetujuan sehingga kita bisa punya pilihan nanti ya,” ungkap Sri Mulyani.