Anak Buah Menko Airlangga Mangkir dari Panggilan KPK

Anak Buah Menko Airlangga Mangkir dari Panggilan KPK


Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Susiwijono Moegiarso (SM), tidak memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (11/4/2025).

Susiwijono, yang pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), sedianya diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit fiktif di LPEI.

“(SM) belum hadir,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, saat dihubungi Inilah.com, Jumat (11/4/2025).

Tessa menjelaskan bahwa yang bersangkutan telah mengajukan permintaan penjadwalan ulang pemeriksaan pada Senin (21/4/2025). Namun, menurut Tessa, penyidik tidak memberikan konfirmasi terkait ketidakhadiran Susiwijono hari ini.

“Minta penjadwalan ulang tanggal 21 April 2025. Alasan tidak disampaikan penyidik ke saya,” ucapnya.

Sebagai informasi, saat ini Susiwijono tengah menghadiri Turkiye-Indonesia CEO Roundtable Meeting bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Turki. Belum ada informasi pasti apakah ia masih berada di Turki atau sudah kembali ke Indonesia.

Sementara itu, kata Tessa, mantan Direktur LPEI lainnya, Bachrul Chairi (BC), memenuhi panggilan pemeriksaan pada Jumat (11/4/2025).

Sebelumnya, KPK juga telah memanggil dua mantan Direktur LPEI lainnya, yakni Hadiyanto (H) dan Robert Pakpahan (RP), untuk diperiksa pada Kamis (10/4/2025). Namun, Tessa belum mengungkap materi pemeriksaan terhadap keduanya.

KPK sebelumnya mengungkap adanya dugaan praktik korupsi dalam pencairan kredit fiktif di LPEI. Praktik ini dikenal dengan istilah “uang zakat”.

Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa istilah tersebut merujuk pada dugaan permintaan komisi oleh jajaran direksi LPEI sebesar 2,5 hingga 5 persen dari nilai kredit yang dicairkan kepada para debitur.

“Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi menyatakan bahwa memang ada namanya uang zakat ya, yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut,” kata Budi kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/3/2025).

Budi menyebut praktik tersebut diperkuat dengan barang bukti elektronik (BBE) yang telah disita penyidik.

“Hal ini memang diterima oleh para direksi LPEI yang memberikan tanda tangan terkait dengan pengusulan kredit tersebut. Kurang lebihnya seperti itu, besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan, kembali lagi kepada para direksi di LPEI,” tutur Budi.

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy (PE), Jimmy Masrin (JM); Direktur Keuangan PT PE, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD); dan Direktur Utama PT PE, Newin Nugroho (NN), yang telah ditahan sejak Maret 2025.

Sementara dua tersangka lainnya, yakni Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV LPEI, Arif Setiawan (AS), hingga kini belum ditahan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan konstruksi perkara ini. Ia menyebut terdapat dugaan konflik kepentingan antara Direksi LPEI dan debitur PT Petro Energy. Sejak awal, telah terjadi kesepakatan untuk mempermudah proses pemberian kredit.

Direksi LPEI disebut tidak melakukan pengawasan terhadap penggunaan kredit sesuai ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP). Bahkan, mereka memerintahkan bawahannya untuk tetap mencairkan kredit meskipun tidak layak diberikan.

PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit, yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, perusahaan tersebut melakukan manipulasi (window dressing) terhadap laporan keuangan.

Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian dengan LPEI.

KPK mencatat, pemberian fasilitas kredit fiktif oleh LPEI kepada PT PE menyebabkan kerugian negara sebesar Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).

Selain PT PE, terdapat 10 debitur lainnya yang juga diduga terlibat dalam peminjaman kredit fiktif, namun belum ditetapkan sebagai tersangka. KPK memperkirakan total kerugian negara akibat kredit fiktif dari 11 debitur ini mencapai Rp11,7 triliun.

Komentar