Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan janji politik Presiden Prabowo Subianto, sejatinya bertujuan mulia. Memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak, bagian dari strategi menurunkan stunting dan meningkatkan kualitas SDM.
Sayangnya, kata ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat, banyak karut-marut dalam implementasinya. Program mulia ini justru menyulut kegaduhan yang berulang. Mulai dari kisruh soal pembayaran, kualitas gizi, hingga dugaan proyek bancakan yang menguntungkan kelompok tertentu.
“Pada titik ini, kita patut bertanya, apakah program MBG sudah dipersiapkan secara matang? Ataukah hanya sekadar produk politik yang dipaksakan, tanpa dukungan fiskal yang realistis.
Jawabannya mengarah kepada kegagalan perencanaan dan ketidaksiapan APBN,” ungkap Achmad Nur.
Sejak awal, kata dia, rasa-rasanya, program ini tidak dibangun di atas basis fiskal yang kokoh. Namun dijalankan di atas ilusi politik populis. Sejauh ini, APBN 2025 tidak menunjukkan kesiapan struktural maupun ruang fiskal yang memadai untuk menyokong program sekelas MBG, apalagi dengan perluasan skala yang eksponensial.
Pada rancangan awal, lanjut Achmad Nur, anggaran yang diajukan untuk program MBG mencapai Rp71 triliun. Dalam waktu sekejab, angkanya dikerek setinggi-tingginya menjadi Rp171 triliun. “Kenaikan ini bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak didukung oleh kapasitas fiskal yang ada,” imbuhnya.
Pemerintah, menurut Achmad Nur, terlihat tidak mengantisipasi bahwa penerimaan negara akan melemah di awal tahun. Hingga akhir kuartal I-2025, realisasi pendapatan negara hanya 10,5 persen dari target, dengan kontraksi di atas 20 persen ketimbang kuartal I-2024.
“Tekanan ini sebagian besar berasal dari penerimaan pajak yang lebih rendah, ditambah dengan fluktuasi harga komoditas global dan tekanan ekonomi domestik,” kata dia.
Situasi ini, menurut Achmad Nur, seharusnya menjadi alarm keras bahwa negara yang sedang menghadapi keterbatasan fiskal nan serius. Sayangnya, alih-alih menahan diri, Badan Gizi Nasional (BGN) justru semakin progresif, mengundang banyak mitra swasta dan komunitas lokal untuk ikut serta dalam program in.”Dengan janji-janji manis bahwa mereka akan dibayar negara,” ungkapnya.
Dia pun menyinggung gaduhnya soal pembayaran vendor MBG di Kalibata, Jakarta Selatan. Sebuah dapur komunitas telah menyiapkan lebih dari 65.000 porsi makanan, justru dibelit utang karena pembayaran dari pihak penyelenggara MBG, tak kunjung datang.
“Lebih ironis lagi, mereka ditagih yayasan mitra BGN untuk membayar biaya logistik dan penyediaan tempat makan (ompreng). Ini adalah gejala dari sistem yang tidak hanya tidak terencana, tetapi juga mengandung celah moral hazard yang besar,” tukasnya.
Ironisnya, lanjutnya, dalam kondisi keuangan negara yang tertekan, BGN tetap bergerak agresif, seolah dana Rp100 triliun tambahan itu, sudah tersedia. Mereka mulai memfasilitasi ekspansi program ke berbagai daerah, menggandeng lebih banyak mitra, bahkan melibatkan lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung untuk mengawasi program ini.
“Pengawasan memang penting, namun lebih penting lagi adalah memastikan bahwa program ini memiliki dasar fiskal dan administratif yang solid. Apa gunanya pengawasan jika sejak awal tidak ada kepastian anggaran,” ungkapnya.
Saat ini, APBN sedang tidak dalam posisi mampu memikul beban tambahan ratusan triliun rupiah tanpa konsekuensi besar: apakah itu pemangkasan program prioritas lain, pelebaran defisit, atau peningkatan utang negara. “Skema populis seperti MBG membutuhkan keberlanjutan, dan keberlanjutan hanya bisa lahir dari fondasi fiskal yang sehat,” pungkasnya.