Arah Pendidikan Indonesia

Arah Pendidikan Indonesia


Cita-cita para pendiri bangsa ini sangat besar dan mulia: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk setiap warga negara yang pernah mengenyam pendidikan, tentu saja cita-cita pendiri bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut bukan hal baru. Mayoritas penduduk republik, juga tentu saja para pemimpin bangsa, pasti pernah mendengar teks tersebut ketika dibacakan di kala upacara bendera, atau bahkan pernah mempelajari dan menganalisis teks tersebut selama belajar PMP, PPKn, atau Pendidikan Pancasila (penyebutan mata pelajaran berbeda berdasarkan perbedaan generasi).

Kembali ke yang Ideal

Jika ingin meraih masa depan Indonesia, kita memang harus berupaya dan berjuang untuk mengejar berbagai cita-cita pendiri bangsa tersebut. Memperhatikan situasi kompleks dan problematik seperti ketimpangan ekonomi, korupsi, kolusi, nepotisme, kerusakan alam, eksploitasi, dan peminggiran terhadap masyarakat adat, maka kembali berupaya menunaikan yang ideal dan normatif menjadi sangat urgen. Belum lagi, tantangan bagi generasi kini untuk mendapatkan kerja layak. 

Di media sosial sering muncul seloroh, “Sudah pintar dan berkualifikasi, tapi kalah sama orang dalam.” Berat memang, tetapi kepelikan kehidupan bernegara akan tuntas ketika politik dikembalikan pada norma awalnya untuk kesejahteraan warga negara, bukan keuntungan bagi segelintir pihak yang berkuasa, apalagi untuk keluarga sendiri.

Jika membahas satu poin, “mencerdaskan kehidupan bangsa,” hal tersebut menjadi fundamen utama dalam penguatan anak-anak bangsa yang memiliki daya cipta dan ketangguhan dalam mempertahankan republik ini. Tak ada bangsa yang maju tanpa generasi yang tangguh, cerdas, dan mencintai negerinya sepenuh hati. Lalu, ketika kita membaca berbagai laporan pemerintah tentang pendidikan, akan terlihat betapa ada harapan besar untuk meraih bonus demografi dan Indonesia Emas. Namun, apakah upaya meraih Bonus Demografi dan Indonesia Emas merupakan proses yang mudah? Tentu tak segampang itu, mengutip Anggi Marito dalam lagunya yang laris itu. Sudah nampak ada banyak tantangan yang harus dilalui untuk menuju imaji-imaji tersebut.

Indonesia memiliki semua syarat untuk menjadi negara besar. Kita besar dari segi demografi dan geografis. Kita memiliki ragam suku bangsa dan agama. Kita kaya sumber daya alam. Namun, ternyata memang anugerah-anugerah tersebut menjadi tantangan besar yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan dan penguatan manusia Indonesia hanya dapat dilakukan melalui politik pendidikan yang memberi perhatian utuh dan menyeluruh pada segenap anak bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Politik pendidikan yang memberikan perhatian menyeluruh terhadap kemajuan-kemajuan pendidikan tanpa meninggalkan kelompok marjinal. Kemajuan pendidikan kita bukan ditentukan oleh semakin melesatnya peringkat-peringkat Indonesia di skor internasional seperti PISA dan sebagainya.

Betul memang, skor-skor tersebut dapat menjadi salah satu ukuran dan negara-negara maju memiliki peringkat yang tinggi. Namun, yang perlu dilakukan bukanlah apakah kita naik atau turun skornya, tetapi bagaimana negara-negara tersebut mereformasi dan merencanakan pendidikan mereka. Tentu saja itu pun tidak bisa gebyah uyah, sebab harus menyesuaikan dengan kondisi demografi, sosio-kultural, dan geografis negeri ini. Jika kita tergoda untuk berlari di jalur negara lain yang lebih maju, kita akan terus tertinggal, merasa tidak percaya diri, dan rapuh karena selalu melihat peringkat kita rendah. Mengapa kita tidak terima saja bahwa memang ada banyak keterbatasan dalam pendidikan di Indonesia dan perlunya perbaikan dengan desain yang presisi dan bertahap?

Fokus pada yang Mendasar

Maka mari fokus pada perbaikan mendasar seperti akses anak-anak ke pendidikan (formal, non-formal, dan informal), bahan bacaan yang berkualitas, akses teknologi informasi, daya dukung sarana prasarana, dan kesejahteraan serta kualitas guru. Tentu saja perlu juga perhatian pada dukungan terhadap pendidikan di level rumah tangga atau keluarga. Tanpa perbaikan pada level keluarga, pendidikan di Indonesia tak akan pernah optimal. Ingat saja konsep trisentra Ki Hadjar Dewantara terkait alam perguruan, alam keluarga, dan alam pergerakan pemuda. Pendidikan harus terinternalisasi minimal di tiga alam tersebut.

Berdasarkan Data Neraca Pendidikan (NPD) (2023), saat ini di pendidikan formal (PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB) terdapat sekitar 51 juta peserta didik. Tentu jika proses pendidikan berjalan optimal dan mampu menempa kognitif, afektif, dan psikomotor para peserta didik, negeri ini tidak akan kekurangan punggawa masa depan yang akan menjadi penjaga negeri. Tidak boleh ada yang tertinggal dalam proses peningkatan kualitas pendidikan. Sokongan anggaran pendidikan harus utama, sehingga mandatory spending UUD NRI 1945 sebesar 20 persen tidak boleh diotak-atik.

Pendidikan harus mampu membangun rasa percaya diri tinggi akan keunggulan kita sebagai bangsa yang besar. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, harus menjadikan anak-anak sosok yang ngandel, kendel, dan bandel. Siapakah sosok tersebut? Sosok yang percaya diri, memiliki pendirian yang teguh. Individu yang berani (kendel) dan tidak lekas ketakutan (bandel). Kita tentu saja ingat betapa Ki Hadjar Dewantara adalah termasuk sosok paling pemberani. Ia mengkritik keras pemerintah kolonial dengan tulisan bernasnya “Als Ik Eens Nederlander Was” yang membuat kuping penguasa Hindia Belanda merah. Tubuhnya kecil, tapi nyalinya tiada tanding.

Jika kita masih percaya bahwa kita harus mengikuti filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, maka anak-anak kita harus dididik menjadi sosok pemberani. Mengapa berani? Karena melihat kesewenang-wenangan penguasa. Kenapa bisa menulis seperti itu? Karena memiliki daya kritis, sesuatu yang sekarang kita sebut sebagai critical thinking skill. Daya kritis tersebut tidak dibangun dari ruang pendidikan yang membuat anak selalu terdiam.

Tentu saja menantang sekali untuk membentuk sosok-sosok seperti Ki Hadjar Dewantara ketika pendidikan kita terjebak pada cara pandang yang selalu memprioritaskan pendidikan dari lensa ekonomi, dan ujungnya bagaimana pendidikan berkontribusi pada pembangunan, seperti kritik Giroux. Dalam potret pendidikan tersebut, fokus pendidikan adalah pembentukan manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang selaras dengan kebutuhan pasar kerja.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka pertanyaan what is education for, seperti yang selalu diajukan Henry Giroux menjadi sangat relevan. Kritik Giroux adalah betapa pendidikan kita saat ini selalu berdebat pada metode (pendidikan/pembelajaran) dan melupakan substansi “untuk apa sesungguhnya pendidikan itu?”. Debat pada metode atau teknis pendidikan hanya menyebabkan situasi contain of silence, yang lebih lanjut dijelaskan sebagai situasi hening di sekolah sebab tidak membicarakan isu-isu penting yang ada di masyarakat seperti ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Sekolah kemudian, merujuk pada pikiran Giroux, terlibat pada upaya filterisasi wacana yang ada, mana yang boleh diajarkan dan mana yang tidak boleh. Situasi tersebut menjadikan anak-anak semata mengejar kapabilitas individu dan ujungnya untuk menghadapi kehidupan layak bagi dirinya sendiri. Mereka tidak terkoneksi dengan realitas di luar. Jika di upacara bendera secara lantang disampaikan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” namun mereka sendiri tidak sadar bahwa situasi ketidakadilan terjadi di mana-mana. Bahwa tidak semua anak Indonesia seberuntung mereka bisa bersekolah dengan nyaman.

Ketika membacakan sila kelima tersebut, pemaknaan terhadap sila tersebut tidak terinternalisasi dengan optimal karena mereka, meminjam Paulo Freire, hanya reading the word. Padahal dalam bahasa Freire dalam bukunya yang sangat legendaris Pedagogy of the Oppressed, dinyatakan bahwa manusia tidak dibentuk dalam kesunyian, tetapi dalam kata, dalam kerja, dalam aksi-refleksi (human beings are not built in silence, but in word, in work, in action-reflection). Maka dibutuhkan pendidikan yang dialogis, yang membuat para siswa mampu berdialog dengan siswa, guru, dan juga lingkungan yang mereka tinggali.

Akhirul Kalam

Arah pendidikan perlu selalu ditentukan dan direfleksikan. Apakah jalur yang kita tempuh sudah benar dan merupakan shiratal mustaqim (jalan yang lurus)? Apakah bangsa ini “hanya” ingin mendidik anak-anak patuh dan minim daya kritis? Atau ingin melahirkan para pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan ketajaman serta kemurnian hati nurani yang tulus seperti para pendiri bangsa yang tak pernah lelah mencintai negeri ini?

Komentar