Bakal Panggil Mantan Menaker, KPK Kembangkan Kasus Pemerasan TKA ke Gratifikasi hingga Pencucian Uang

Bakal Panggil Mantan Menaker, KPK Kembangkan Kasus Pemerasan TKA ke Gratifikasi hingga Pencucian Uang


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang pengembangan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).

Pengembangan kasus ini tidak hanya berhenti pada dugaan pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menjerat sejumlah pejabat eselon I Kemnaker. KPK juga membuka kemungkinan perluasan penyidikan hingga ke jajaran menteri melalui pasal gratifikasi.

“Pasal gratifikasi kami tetapkan ini sebagai pasal lapisan, apabila nanti memang secara alat bukti untuk pemerasannya, misalnya kami tidak mendapatkan alat bukti yang kuat sehingga kemarin dari diskusi dengan teman-teman penuntutan kita lapiskan pasal gratifikasi,” ujar Plt Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo Wibowo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).

Menurut Budi, penerapan pasal gratifikasi disiapkan apabila kelak ditemukan keterlibatan pihak setingkat menteri.”Sehingga nanti kalau bisa sampai ke level paling tinggi di kementerian tersebut bisa mencakup unsur-unsur pasal yang dikenakan,” imbuhnya.

Selain gratifikasi, KPK juga mempertimbangkan penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat pihak-pihak yang diduga menerima uang hasil pemerasan. Penerapan pasal ini juga menjadi bagian dari upaya pemulihan aset (asset recovery) atas tindak pidana korupsi yang terjadi.

Praktik pemerasan ini tidak hanya terjadi pada periode 2019-2024 yang tengah disidik, namun diduga telah berlangsung sejak 2012. Dalam rentang waktu tersebut, tercatat tiga menteri yang menjabat di Kemnaker, yaitu Muhaimin Iskandar (2009-2014), Hanif Dhakiri (2014-2019), dan Ida Fauziyah (2019-2024). Ketiganya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

“Saya sampaikan juga bahwa terkait pasal yang mungkin nanti akan kita terapkan, akan kita kembangkan ke tindak pidana pencucian uang. Karena praktik ini sudah berlangsung sejak 2012, sehingga kami akan lebih mudah apabila nanti ketika melakukan asset recovery melalui TPPU terhadap para oknum-oknum yang melaksanakan praktik pemerasan di Kemnaker,” kata Budi.

Sebelumnya, KPK telah mengumumkan identitas para tersangka beserta nilai dugaan aliran dana hasil pemerasan yang mereka terima, dengan total mencapai Rp53,7 miliar, yakni:

1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar

2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar

3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA (2021–2025): Rp6,3 miliar

4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar

5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar

6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar

7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta

8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta

Selain delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk keperluan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga para tersangka.

Konstruksi Perkara

Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA ini mengungkap praktik korupsi yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir. RPTKA merupakan dokumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang hendak mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia. Proses penerbitannya dilakukan oleh Direktorat PPTKA yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.

Modus pemerasan dilakukan secara berjenjang. Permohonan RPTKA hanya akan diproses oleh verifikator apabila pemohon memberikan sejumlah uang. Sebaliknya, permohonan dari pihak yang tidak membayar akan diperlambat atau diabaikan. Dalam beberapa kasus, pemohon diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan baru akan “dibantu” setelah menyetorkan dana ke rekening tertentu.

Pegawai Kemnaker juga mengatur jadwal wawancara Skype secara manual sebagai bagian dari proses pengajuan RPTKA. Jadwal tersebut hanya diberikan kepada pemohon yang bersedia membayar. Sementara bagi yang tidak, proses ditunda tanpa kejelasan. Padahal, keterlambatan penerbitan RPTKA dapat menyebabkan denda harian sebesar Rp1 juta bagi perusahaan.

Pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga memberikan instruksi kepada verifikator seperti Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin untuk memungut uang dari para pemohon. Dana hasil pemerasan tersebut kemudian dibagikan secara rutin, digunakan untuk kebutuhan internal seperti makan malam pegawai, dan keperluan pribadi lainnya. Sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA turut menikmati aliran dana tersebut.

Total dana hasil pemerasan diperkirakan mencapai setidaknya Rp53,7 miliar. Namun hingga kini, baru sekitar Rp5,4 miliar yang berhasil dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan KPK. Penyidik juga telah menyita sejumlah barang bukti, termasuk 13 kendaraan mewah dan dokumen milik agen pengurusan TKA. Penelusuran lebih lanjut masih terus dilakukan, termasuk kemungkinan praktik serupa yang terjadi sebelum 2019.

Komentar