Musik remix ‘jedag-jedug’ ala DJ berdentum keras, bassnya menggelegar membuat jantung berdegup kencang. Alunannya disuarakan dari sound system setinggi puluhan meter, dengan bobot nyaris satu ton, di atas truk yang melintasi desa ke desa. Inilah gambaran singkat dari Sound Horeg yang termasyur dari Jawa Timur.
Karnaval ini boleh dibilang sudah jadi kebiasaan masyarakat pedesaan, tapi suaranya yang sangat berisik tak jarang menimbulkan keresahan dan kerusakaan, ketika diprotes ujungnya jadi ancaman.
Seorang warga Desa Kepung, Kediri, Jawa Timur, Eko Mariyono mendapatkan ancaman, intimidasi bahkan pernah mau kena bogem mentah dari para penikmat sound horeg.
Semua pengalaman tak menyenangkan ini berawal dari 2022. Kala itu, ia memprotes penyelenggaraan acara karena festival sound horeg diadakan saat malam takbiran Idulfitri.
“Segerombolan anak muda bawa sound besar, bukan takbiran tapi musik remix. Saya tegur, malah saya dikeroyok. Untung tidak kena,” kata Eko, dikutip Minggu (3/8/2025).
Eko sempat mendatangi Polsek Kepung untuk melapor. Sejak saat itu ia semakin tegas menolak acara serupa yang digelar oleh warga di sekitarnya. Situasi memuncak pada 26 Maret 2025 ketika rumah Eko diteror suara sound system yang diarahkan langsung ke kediamannya. “Kami sebenarnya mau mengungsi ke hotel, tapi orang tua saya takut rumah kosong. Akhirnya kami tetap di rumah,” katanya.
Menurut Eko, selain merugikan dari sisi kesehatan karena suara yang terlalu keras, di rumahnya ada orang tua berusia 70 tahun dan kegiatan itu juga dinilai berdampak buruk pada moralitas anak-anak.
Tidak hanya teror secara langsung, Eko juga menerima berbagai komentar bernada ancaman di media sosial. Beberapa akun bahkan mengajak massa untuk mendatangi rumahnya.
Eko tak sendiri. Di Pasuruan ada juga yang resah karena festival ini. Videonya sampai viral di media sosial, gara-gara ada halaman disulap jadi lahan parkir dadakan oleh penonton acara sound horeg tanpa seizin pemilik rumah.
Dalam video yang diunggah akun Instagram @pembasmi.kehaluan.reall pada Senin, 28 Juli 2025, tampak puluhan motor dan mobil memenuhi pekarangan rumah warga. Padahal, rumah tersebut tidak terkait dengan acara dan bukan lokasi parkir resmi.
Meski telah disediakan lahan parkir resmi dan warga sekitar juga membuka lahan parkir berbayar, beberapa penonton memilih jalan pintas dengan menerobos pekarangan orang lain demi tempat parkir gratis.
Dalam rekaman CCTV, ia melakukan aksi cerdas sebagai bentuk protes: mobil pribadinya diparkir tepat di pintu keluar halaman agar kendaraan yang parkir sembarangan tak bisa keluar dengan mudah. Aksi itu membuat para penonton panik usai acara berakhir.
Selain meresahkan, sound horeg juga menimbulkan banyak kerusakan. Seperti yang terjadi di Desa Wedusan, Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati, memperkuat bukti betapa karnaval sound horeg bisa menimbulkan dampak negatif.
Genteng rumah warga ambrol akibat dentuman suara keras dari sound system, kaca-kaca juga pecah. Usut punya usut, kerusakan ini malah jadi kebanggaan dan ajang cari cuan tambahan para pelaku bisnis sound horeg. Karena makin keras dampaknya, makin deras juga sawerannya.
Dari sisi kesehatan juga tak kalah merusak. Suara yang dihasilkan sound horeg ternyata bisa mencapai 120-135 desibel (dB), angka tersebut jauh dari batas aman didengarkan oleh manusia, yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tidak lebih dari 70 dB
Dosen sekaligus dokter spesialis THT Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rizka Fakhriani mengatakan, suara keras dengan intensitas dan frekuensi di atas batas aman dapat memicu stres oksidatif dan peradangan pada sel-sel rambut di koklea (rumah siput), telinga bagian dalam.
Diungkap, paparan sound horeg yang intens dan keras juga dapat memicu masalah kesehatan lain, seperti telinga berdenging (tinnitus) yang merupakan gejala awal gangguan pendengaran. Gejala lain termasuk di antaranya: telinga terasa penuh, penurunan kemampuan mendengar suara halus, sensitivitas berlebih terhadap suara keras, pusing (vertigo), gangguan tidur, peningkatan stres, hingga perubahan mood.
“Paparan berulang dengan intensitas tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan progresif dalam hitungan hari atau minggu, dan bersifat kumulatif jika terus-menerus terpapar tanpa pelindung,” tuturnya.
Segala stigma negatif ditambah munculnya fatwa haram beberapa waktu lalu, bikin para pelaku bisnis sound horeg putar otak. Mencoba mengakali, mereka pun mengganti nama bisnisnya menjadi Sound Karnaval Indonesia (SKI), tapi percuma jika pelaksanaannya tidak dibenahi. Apalah arti sebuah nama.
Patut ditiru apa yang dilakukan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Banyuwangi. Mereka duduk bersama dengan seluruh stakeholder, dan menemukan jalan tengah. Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani memberikan aturan main bagi para warga yang ingin menikmati sound horeg.
Adapun aturan main yang sudah disepakati, sebagai berikut:
1. Armada Wajib L300
Truk-truk raksasa pengangkut sound system dilarang keras. Kendaraan pengangkut sound system maksimal jenis Mitsubishi L300 atau pikap sejenisnya.
2. Subwoofer Dibatasi
Kekuatan audio dibatasi secara signifikan. Sound system hanya boleh membawa maksimal 6 boks subwoofer.
3. Stop Pakaian Vulgar dan Joget Erotis
Peserta karnaval diwajibkan mengenakan pakaian khas Nusantara. Segala bentuk pakaian vulgar atau minim serta joget yang dianggap berlebihan (erotis) dilarang keras.
4. Batasan Waktu Ketat
Karnaval harus bubar sebelum malam. Waktu pelaksanaan dibatasi hingga pukul 17.30 WIB, dan penggunaan sound system wajib berhenti total pada pukul 22.00 WIB.
5. Volume Diatur
Suara tidak boleh memekakkan telinga. Volume sound system dibatasi tidak boleh melebihi 85 desibel (db).
6. Izin Warga dan Peserta Terbatas
Penyelenggara wajib mengantongi izin dari Pemerintah Desa dan warga sekitar. Jumlah peserta per grup juga dibatasi, seperti di Kecamatan Genteng yang mematok maksimal 500 orang.
7. Musik Tanpa Provokasi
Musik yang diputar dilarang keras mengandung unsur provokatif yang bisa memicu gesekan.