Banyak Industri Tutup Pertanda Deindustrialisasi, Kemenperin Ogah Disalahkan

Banyak Industri Tutup Pertanda Deindustrialisasi, Kemenperin Ogah Disalahkan


Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui badai pemutusan hubungan kerja (PHK), sulit dibendung. Namun, kementerian yang dipimpin Agus Gumiwang Kartasasmita (AGK) ini, tak mau disalahkan sendirian. Padahal, ambruknya industri pertanda deindustrialisasi yang menjadi tanggung jawab Kemenperin.

Juru bicara (jubir) Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menyebut, amuk PHK di Indonesia merupakan dampak relaksasi impor. Akibatnya, produk impor membanjiri pasar dalam negeri yang mengancam eksistensi industri dalam negeri.

“Kami tidak menafikan, kami dari Kementerian Perindustrian tidak menafikan bahwa PHK masih terjadi di industri manufaktur. Di mana, PHK yang terjadi saat ini, disebabkan karena residu dari kebijakan relaksasi impor. Yang saat ini masih dirasakan dampaknya oleh industri padat karya,” ujar Antoni di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Lebih lanjut, Antoi mengatakan, residu ini masih akan terasa hingga dua bulan kedepan. Adapun hal itu berkaitan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) merupakan pengganti Permendag nomor 8 tahun 2004. Beleid impor itu, mulai berlaku dua bulan ke depan. “Residu ini, kami perkirakan masih akan terus dampaknya sampai revisi Permendag 8. Itu diberlakukan sekitar 2 bulan dari sekarang,” kata dia.

Berdasarkan catatan, terjadi pengurangan 2 juta tenaga kerja periode Agustus 2024 hingga Februari 2025. Hal itu dipicu banjirnya produk impor masuk ke pasar dalam negeri yang berpengaruh terhadap industri padat karya.

“Bahwa dalam periode Agustus 2024 sampai Februari 2025 ada sekitar 2 juta tenaga kerja industri atau buruh yang mengalami pengurangan kerja atau PHK,” ucapnya.

“Dan kami sekali lagi menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena kebijakan relaksasi impor yang membuat pasar domestik banjir produk impor murah sehingga menekan demand industri hilir terutama industri padat karya yang pada akhirnya memicu terjadinya pengurangan kerja. Itu risiko yang kita tanggung dari pemberlakukan relaksasi impor itu,” tegas dia.

Merujuk dari data di Satudata Kemenaker, jumlah karyawan yang kena PHK sejak Januari-Juni 2025 terbanyak di tiga provinsi. Yakni Jawa Tengah (10.995 orang), Jawa Barat (9.494 orang) dan Banten (4.267 orang).

Kemudian jika dibandingkan dengan data PHK periode Januari-Juni 2024, terjadi kenaian 32,19 persen. Di mana, jumlah PHK periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang.

Sebelumnya, anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri sepakat bahwa Indonesia saat ini, tengah mengalami deindustrialisasi dini. Tergambar dari turunnya kontribusi industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB).

Chatib yang menjabat Menteri Keuangan di era SBY itu, betul. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, distribusi industri pengolahan atau manufaktur merosot terhadap PDB dalam10 tahun terakhir.

Pada 2014, misalnya, distribusi industri pengolahan terhadap PDB bertengger di level 21,02 persen. Lima tahun kemudian, anjlok ke angka 19,7 persen. Pada 2023 kian merosot menjadi 18,67 persen. Setahun berikutnya, naik tipis menjadi 19,13 persen.

“Ada beberapa alasan mengenai kita mengalami yang disebut sebagai premature deindustrialization,” kata Chatib saat memberikan Kuliah Umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Depok, Jaw Barat, Kamis (15/5/2025).

Chatib mengatakan, penyebab pertama deindustrialisasi dini adalah penyakit dutch disease ringan yang menjangkiti Indonesia. Penyakit asal Belanda ini terjadi ketika sebuah negara melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alamnya secara mentahan.

“Itu di dalam tahun 2000 sampai dengan 2011 kita itu mengalami yang namanya mild dutch disease, mild dutch disease kenapa, karena ada commodity boom,” tegasnya.
 

Komentar