Banyak Orang Miskin Punya Motor, BPS Masih Saja Pakai Standar Kemiskinan Rp20.000/Hari

Banyak Orang Miskin Punya Motor, BPS Masih Saja Pakai Standar Kemiskinan Rp20.000/Hari

Iwan Medium.jpeg

Minggu, 27 Juli 2025 – 16:58 WIB

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Kalangan ekonom mempertanyakan keputusan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kemiskinan, menggunakan standar Rp609.160 per kapita per bulan, atau setara Rp20.305 per hari. Angka ini sudah sangat tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Ekonom  senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad heran dengan rendahnya standar garis kemiskinan yang diadikan acuan BPS. Hasilnya, angka kemiskinan di Indonesia menjadi terkesan terlihat rendah.

“Standarnya, saya rasa terlalu rendah, hanya Rp20 ribu. Ya akibatnya angka kemiskinannya turun. Seharusnya dihitung nilai riilnya. Kalau untuk membeli (belanja) itu harusnya lebih besar,” ujarnya

Tauhid mengakui, parameter kemiskinan di Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Pengukuran kemiskinan sudah bisa mengadopsi dari Bank Dunia ataupun lembaga lain yang relevan.

“Kalau pengukurannya ya menurut saya ya standarnya harusnya sudah bisa diadopsi sebagian yang dari Bank Dunia, ataupun dari lembaga lain lah. Kalau BPS ‘kan masih menggunakan metode yang lama, sehingga pasti akan turun gitu,” tambahnya.

Tauhid menilai, pola konsumsi yang berubah yang secara rata-rata terjadi tiap 10 tahun. Kebutuhan makan memang dominan, namun muncul kebutuhan non makanan yang harus disertakan dalam penetapan garis kemiskinan. “Sekarang orang miskin itu rata-rata punya motor lho. Nah, kalau menggunakan metode BPS, mungkin tidak masuk kategori miskin,” bebernya.

Tak hanya kendaraan, lanjut Tauhid, kebutuhan mayoritas masyarakat di Indonesia, saat ini, adalah telekomunikasi. Itu semuanya harus masuk perhitungan BPS.

“Bukan hanya kendaraan, kebutuhan pulsa dan sebagainya seharusnya dihitung juga. Jadi, standar Rp20 ribu itu, jelas enggak cukup. Enggak layak. Karena itu tadi, kebutuhan non-makanan harusnya ditambah. Tapi ini kan tidak berubah sejak 1998,” pungkasnya.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar mengkritik data kemiskinan Maret 2025 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Angka yang dimunculkan tidak sesuai dengan realitas di lapangan.

“Saat ini pemerintah hanya memilih data-data yang positif, dengan landasan metodologi yang lemah dan pada saat yang sama mengabaikan indikator penting lainnya,” kata Media.

Mengingatkan saja, BPS mencatat, jumlah penduduk miskin ekstrem pada Maret 2025 sebanyak 2,38 juta orang. Turun 0,40 juta orang dibandingkan September 2024. Jumlah penduduk masuk kategori miskin ekstrem telah turun 1,18 juta orang bila membandingkan dengan Maret tahun lalu.

Penurunannya hanya 0,1 persen, maka menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan semakin berkurang. Banyak masyarakat keluar dari garis kemiskinan, sebaliknya dalam waktu bersamaan, jumlah orang jatuh miskin kembali atau menjadi miskin baru cukup tinggi.

Masih kata Media, BPS hampir 5 dekade menggunakan pendekatan pengukuran kemiskinan dengan berbasiskan pengeluaran serta variabel, yang tidak banyak berubah dan tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi.

Berdasarkan laporan terbaru World Bank, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau setara dengan 194,4 juta jiwa. Angka itu sangat berbeda dengan data BPS, yang mencatat hanya 8,57 persen atau 24,06 juta orang dikategorikan miskin.

Meski metodologi kedua pihak berbeda, disparitas sebesar delapan kali lipat itu menunjukkan, bahwa terdapat masalah dalam cara mendefinisikan kemiskinan.

“Kita lebih baik menggunakan data dengan benar untuk melihat fakta yang ada, ketimbang memoles data hanya untuk kepentingan pencitraan,” kritik Media.

Topik
Komentar

Komentar