Calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo menitikberatkan digitalisasi perpajakan untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio).
Saat ini, tax ratio Indonesia hanya 10,39 persen. Cukup rendah dibandingkan negara tetangga di ASEAN.
“Indonesia memerlukan sistem pembayaran pajak yang lebih sederhana untuk mendorong masyarakat lebih taat pajak. Hal tersebut akan meningkatkan rasio pajak. Pajak ruwet, coba bikin pajak simple, pasti orang mau (bayar pajak). Apalagi digitalisasi,” kata Ganjar dalam Dialog Apindo Capres 2024 di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatatkan rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam arti sebesar 10,39 persen pada 2022.
Pernyataan tersebut merupakan respons Ganjar setelah ditanya soal solusi untuk rasio pendapatan pajak yang masih rendah. Mantan Menteri Perdagangan RI yang juga seorang pengusaha, Gita Wirjawan juga menyampaikan bahwa rasio pajak Indonesia presentasenya masih sangat sub optimal di bawah 10 persen.
Selain itu, menurut Ganjar perlu ada lembaga khusus di bawah presiden langsung, yang didirikan untuk mengelola penerimaan pajak negara.
“Misalnya sekarang rasanya urusan penerimaan pajak negara dan bukan pajak itu tidak lagi itu diurusi oleh dirjen. Itu seharusnya diurusi oleh lembaga di bawah presiden langsung,” terangnya.
Saat ini pemerintah tengah melaksanakan reformasi perpajakan. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dilakukan pada pertengahan 2024 atau saat Sistem Inti Administrasi Perpajakan (core tax) dijalankan.
Ia melaporkan, proses pemadanan NIK menjadi NPWP terus berjalan, yang mana per 22 November 2023 terdapat 59,3 juta NIK wajib pajak yang sudah dipadankan menjadi NPWP atau sebesar 82,4 persen dari 72 juta wajib pajak.
Asal tahu saja, tax ratio terhadap GDP Indonesia pada 2021 sebesar 9,1 persen. Paling jeblok dibandingkan negara-negara di ASEAN. Misalnya, tax ratio Kamboja 16,4 persen, Malaysia 11,2 persen, Thailand 14,3 persen dan Vietnam 12,9 persen.