Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya masih mengkaji terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan lokal merupakan pelanggaran konstitusi bahkan tindakan sebuah tindakan mencuri kedaulatan rakyat.
Hal ini diungkapkan menyoroti Partai NasDem yang sebelumnya sudah mengambil sikap terkuat putusan tersebut.
Dasco mengaku Gerindra kini masih dalam tahap mengkaji putusan kontroversial ini. Menurutnya, beberapa partai politik lain juga melakukan hal yang serupa.
“Ya kami juga masih mengkaji, beberapa partai politik juga masih mengkaji,” kata Dasco kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (1/7/2025).
Dasco menjelaskan setiap partai akan memiliki sikap masing-masing. Sikap tersebut, ungkapnya, juga merupakan masukan yang harus dihargai.
“Kemudian menyikapi keputusan MK dan membuat produk yang akan kita keluarkan nanti,” ucapnya.
Sebelumnya, DPP Partai NasDem menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan lokal merupakan pelanggaran konstitusi bahkan tindakan sebuah tindakan mencuri kedaulatan rakyat.
Hal itu disampaikan dalam konferensi persnya dalam pembacaan sikap resmi Partai, yang turut dihafiri Wakil Ketua Umum DPP NasDem Saan Mustopa, Sekjend Hermawi Taslim, Anggota Majelis Tinggi Lestari Moerdijat (Rerie), Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Roberth Rouw, Ketua Komisi II DPR sekaligus Ketua DPP Rifqinizamy Karsayuda serta elite DPP NasDem lainnya.
“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” kata Rerie dalam keterangan resminya yang diterima Selasa (1/7/2025).
Rerie menambahkan, Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali . Kemudian, pemilu diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
“MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” tuturnya.
Rerie menilai MK telah melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten.
“Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum,” jelas dia.