Belum Juga Tahan Hergun dan Satori, KPK Alasan Masih Kumpulkan Bukti Aliran Duit CSR BI

Belum Juga Tahan Hergun dan Satori, KPK Alasan Masih Kumpulkan Bukti Aliran Duit CSR BI


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mengumpulkan bukti terkait aliran dana dalam Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) atau CSR BI yang menjerat dua anggota DPR periode 2019–2024, yakni Satori dari Fraksi NasDem dan Heri Gunawan (Hergun) dari Fraksi Gerindra. Hal ini menjadi alasan keduanya belum ditahan meski status tersangka telah diumumkan.

“Betul, kita masih mengumpulkan bukti-bukti ya, karena kita harus ngecek, ngecek uangnya kan dari PSBI namanya, memang terkenalnya CSR, namanya PSBI, itu kan diberikan kepada yang dua orang tersangka ini,” kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

Asep menjelaskan, penahanan baru akan dilakukan setelah bukti lengkap. Ia juga belum bisa memastikan kapan waktu penahanan akan dilakukan.

“Nanti kalau sudah kita komplit ya buktinya,” ucap Asep.

Menurut Asep, jika penahanan dilakukan terburu-buru, penyidik justru akan kesulitan melengkapi berkas perkara karena adanya batas waktu penahanan. Hal ini berpotensi membuat tersangka bebas.

“Ya enggak, harus karena gini, kalau kita buru-buru nanti perkaranya tidak selesai, kita juga harus mengeluarkan yang bersangkutan,” ujarnya.

KPK sebelumnya telah menetapkan Satori dan Hergun sebagai tersangka pada Kamis (7/8/2025).

Kontruksi Perkara

Dalam konstruksi perkara, Komisi XI DPR RI yang membawahi mitra kerja seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kewenangan memberikan persetujuan atas rencana anggaran kedua lembaga. Sebelum persetujuan diberikan, dibentuk Panitia Kerja (Panja), yang salah satunya diisi oleh Heri Gunawan dan Satori untuk membahas pendapatan serta pengeluaran BI dan OJK.

Setelah rapat kerja bersama pimpinan BI dan OJK setiap November, Panja menggelar rapat tertutup. Dalam rapat tersebut disepakati bahwa BI dan OJK akan memberikan dana program sosial kepada setiap anggota Komisi XI DPR RI. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan per tahun. Dana itu disalurkan melalui yayasan yang dikelola anggota DPR, dengan teknis pelaksanaan dibahas oleh tenaga ahli anggota DPR bersama pihak BI dan OJK.

Heri Gunawan menugaskan tenaga ahlinya, sementara Satori menunjuk orang kepercayaan untuk mengajukan proposal bantuan dana sosial ke BI dan OJK. Proposal diajukan melalui empat yayasan di bawah Rumah Aspirasi Heri Gunawan dan delapan yayasan di bawah Rumah Aspirasi Satori, selain juga ke mitra kerja Komisi XI lainnya.

Namun, pada periode 2021–2023, yayasan-yayasan tersebut justru menerima dana tanpa melaksanakan kegiatan sosial sesuai proposal. Heri Gunawan disebut menerima total Rp15,86 miliar, terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lain. Dana itu dialihkan ke rekening pribadi melalui transfer dan setor tunai ke rekening penampung yang dibuka anak buahnya. Uang kemudian dipakai untuk membangun rumah makan, mengelola outlet minuman, membeli tanah dan bangunan, serta kendaraan roda empat.

Sementara Satori menerima total Rp12,52 miliar, terdiri dari Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Dana itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom mobil, kendaraan roda dua, dan aset lainnya. Satori bahkan diduga merekayasa transaksi perbankan dengan bantuan salah satu bank daerah untuk menyamarkan penempatan dan pencairan deposito agar tidak terdeteksi dalam rekening koran.

Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Keduanya juga dijerat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Komentar