Bendera Lusuh di Tiang Demokrasi, Dibayang Dinasti dan Oligarki

Bendera Lusuh di Tiang Demokrasi, Dibayang Dinasti dan Oligarki


Partai politik di negeri ini ibarat bendera itu. Dulu dijahit dengan cita-cita besar, dipasang tinggi agar menjadi lambang persatuan, dan dijaga dengan janji setia pada rakyat. Namun seiring waktu, serat-seratnya lapuk karena perawatan yang setengah hati

Di sebuah taman kecil sore itu, bangku-bangku besi basah oleh gerimis. Langit Jakarta menggantung kelabu, meneteskan sisa hujan di antara gedung-gedung yang dingin. Di dekat gerbang taman, bendera merah putih berkibar pelan. Dari jauh, ia masih gagah. Namun, bila dilihat lebih dekat, warnanya telah pudar—merahnya tidak lagi menyala, putihnya menguning. Ujung kainnya terurai, benang-benang lepas menari tertiup angin. Seratnya tipis, siap robek bila ditarik sedikit saja.

Bendera itu seperti potret kemerdekaan kita: simbolnya tetap ada, tapi kekuatan yang menopangnya mulai rapuh. Demokrasi Indonesia masih berdiri di tiangnya, tetapi kainnya telah lapuk oleh cuaca politik—panasnya tarik-menarik kepentingan, hujannya intrik, dan tiupan angin modal yang datang dari arah yang salah.

Setiap tahun, pertengahan Agustus, bendera seperti ini diganti dengan yang baru. Upacara digelar, lagu kebangsaan dinyanyikan, dan perayaan meriah memenuhi jalan-jalan. Namun, berbeda dengan bendera fisik yang mudah diganti, “bendera” demokrasi kita tidak bisa sekadar dipasang baru. Ia dibentuk dari serat-serat partai politik, dan serat-serat itu sedang menipis.

Partai—yang seharusnya menjadi tenunan kokoh dari aspirasi rakyat—sering dijahit dari benang yang salah: benang modal besar dan kepentingan sempit. Bantuan negara hanya menutup sekitar 1,5 persen biaya operasional partai, sisanya berasal dari sumbangan pribadi atau kelompok berkepentingan. Dengan kain seperti itu, mudah ditebak siapa yang memegang ujungnya.

Peter Larmour, seorang akademisi dan penulis banyak buku antikorupsi, menyebut ada tiga bentuk korupsi politik yang terjadi di negara demokrasi. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau partai. Kedua, pengabaian suara dan aspirasi rakyat. Dan ketiga, konflik kepentingan akibat kemesraan antara tokoh politik dan pengusaha. Menyedihkannya, ketiga bentuk korupsi politik ini terjadi di Indonesia. 

Tengok saja catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 340 anggota DPR dan DPRD terseret kasus korupsi. Tak hanya di legislatif, eksekutif pun tak lepas dari jeratan korupsi, dengan 24 gubernur, 30 Menteri dan lebih dari 160 wali kota serta bupati terlibat dalam praktik yang sama.

Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana aktor-aktor politik mendominasi daftar pelaku korupsi di Indonesia. Kondisi ini terus terjadi setiap tahun. 

Melihat kenyataan tersebut, rasanya sulit membayangkan Indonesia memiliki wakil-wakil partai yang berintegritas dan bersih dari korupsi. Padahal, kurang penting apa partai politik bagi iklim demokrasi kita? Demokrasi tidak akan ada tanpa kehadiran parpol. Melalui partai politik, lahirlah para pemimpin nasional, pemimpin daerah, hingga perwakilan rakyat di DPR dan MPR. Dari perwakilan partai politik inilah lahir berbagai regulasi dan kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan rakyat dan mencerahkan masa depan bangsa. 

Anak-anak membawa bendera merah putih. (Foto: Antara/M Agung Rajasa).
Anak-anak membawa bendera merah putih. (Foto: Antara/M Agung Rajasa).

Ketika partai tak bisa hidup dari iuran anggota atau dukungan negara yang memadai, mereka akan mencari “angin” dari arah lain—yakni pemilik modal. Sama seperti bendera lusuh yang tetap berkibar karena angin kencang sesekali, partai politik tampak hidup hanya saat ada suplai dana besar menjelang pemilu. Begitu angin itu reda, aktivitasnya kembali lesu, dan warnanya terus memudar.

Inilah demokrasi prosedural: pemilu tetap berjalan, rakyat tetap memilih, namun yang menang adalah mereka yang memiliki “angin” terkuat—modal besar, jaringan kuat, dan akses pada kekuasaan. Demokrasi yang seperti bendera usang itu: berdiri tegak di tiang tinggi, tetapi seratnya keropos.

Pada setiap musim kampanye, partai politik menebar janji manis layaknya madu, memohon suara rakyat dengan wajah penuh senyum. Dari panggung-panggung kampanye hingga layar televisi, mereka menjanjikan kebijakan yang akan berpihak pada rakyat, pembangunan yang merata, dan kesejahteraan yang dapat dirasakan semua lapisan bangsa. 

Setiap suara yang masuk ke kotak pemilu membawa titipan harapan: pendidikan yang lebih baik, pelayanan kesehatan yang layak, lapangan kerja yang terbuka, dan harga kebutuhan yang terjangkau.

Namun, berkali-kali harapan itu dihantam kenyataan pahit. Rakyat melihat wakil-wakil yang mereka pilih justru memunggungi aspirasi, sibuk mengamankan kepentingan kelompok sendiri, atau terjerat kasus korupsi. Tidak jarang, kasus itu melibatkan elite partai yang dulu berdiri paling depan memohon suara rakyat. 

Korupsi yang mereka lakukan bukan sekadar pelanggaran hukum; ia menggerogoti fondasi kesejahteraan bangsa. Anggaran untuk memperbaiki mutu pendidikan tersendat, pelayanan kesehatan terbengkalai, infrastruktur mandek, dan kemiskinan tetap membelit.

Pesta lima tahunan yang penuh gegap gempita berubah menjadi siklus kekecewaan. Ketika partai politik tidak mandiri secara finansial dan ideologis, ketergantungan pada pemodal dan elite tertentu membuka celah kompromi yang mengorbankan rakyat. Korupsi pun menjadi gejala dari akar masalah yang lebih dalam: rapuhnya kemandirian dan integritas partai politik itu sendiri.

Pada 2016, KPK dan LIPI pernah melakukan riset soal mengapa tokoh pilihan Parpol banyak yang korupsi. Salah satunya adalah karena tidak adanya proses pengkaderan yang jelas. Partai lebih mementingkan popularitas seseorang untuk dipinang sebagai kader dan dimajukan sebagai calon anggota legislatif atau kepala daerah, ketimbang orang-orang yang benar-benar kompeten. Tidak heran jika bermunculan selebritas yang menjadi anggota partai, walau tanpa pengalaman berpolitik sebelumnya.

Penentu lainnya adalah besaran ‘mahar politik’ yang diberikan seseorang agar bisa diusung partai. Hal ini akhirnya membuat kader-kader potensial di partai tersebut menjadi melempem. Mereka merasa digembosi sehingga banyak yang memilih hengkang. 

Ilustrasi Putusan MK Berujung Dominasi Parpol. (Desain: Inilah.com/Febri)
Ilustrasi partai politik rebutan suara demi kekuasaan. (Desain: Inilah.com/Febri)

Selain itu penelitian LIPI dan KPK juga menunjukkan kebanyakan parpol di Indonesia tidak punya sistem pendidikan dan pelatihan yang layak untuk para kadernya. Masalah integritas dan kapasitas kader bukan jadi hal penting bagi partai untuk memajukan mereka ke bursa pemilu. Kembali lagi, yang utama adalah popularitas atau seberapa besar kontribusi Rupiah mereka untuk partai. 

Tak hanya itu, di banyak partai besar, pucuk kepemimpinan diwariskan seperti harta keluarga—dari ayah ke anak, dari kakak ke adik, dari suami ke istri. Mekanisme demokratis di dalam partai menjadi formalitas belaka. Pemilihan ketua hanya simbol, karena pemenangnya sudah ditentukan di meja makan keluarga. Bagi rakyat, ini berarti partai tidak lagi menjadi milik publik, melainkan menjadi perusahaan keluarga yang sahamnya dijaga rapat oleh segelintir orang.

Ketika kepemimpinan partai tertutup bagi kader di luar lingkar keluarga, proses kaderisasi yang sehat menjadi mustahil. Talenta-talenta politik muda yang potensial tak punya jalan untuk naik, kecuali tunduk pada patron keluarga tersebut. Idealisme tergantikan loyalitas personal, dan kebijakan partai diarahkan untuk menjaga kekuasaan, bukan memperjuangkan rakyat.

Kondisi ini menjadikan demokrasi kita seperti bendera yang hanya berkibar karena angin dari arah yang sama—angin keluarga yang menguasai tiang. Tak ada sirkulasi kepemimpinan yang segar, tak ada pergantian kain yang lelah. Yang ada hanya tambalan di sana-sini untuk mempertahankan simbol, meski seratnya makin keropos.

Transparansi pun menjadi masalah besar. Banyak partai enggan membuka laporan keuangannya, dan pengawasan publik terhadap penggunaan dana masih lemah. Kenaikan dana bantuan parpol tanpa reformasi kelembagaan ibarat memberi cat baru pada bendera yang sudah robek—warnanya memang segar sesaat, tetapi setiap hembusan angin akan semakin membuka sobekannya.

Padahal transparansi ini penting untuk menghindari adanya konflik kepentingan atau agenda terselubung dari para donor. Partai yang seharusnya memuat idealisme dan gagasan kolektif pendukungnya menjadi melenceng. Tidak ada lagi upaya menyuarakan aspirasi rakyat, yang terpenting bagaimana mengisi kantung sendiri atau kas organisasi.   

Partai politik di negeri ini ibarat bendera itu. Dulu dijahit dengan cita-cita besar, dipasang tinggi agar menjadi lambang persatuan, dan dijaga dengan janji setia pada rakyat. Namun seiring waktu, serat-seratnya lapuk karena perawatan yang setengah hati. 

Kaderisasi yang lemah membuat jahitannya longgar; ketergantungan pada pemilik modal membuat warnanya pudar. Tiupan angin pesta demokrasi lima tahunan memang membuatnya tampak berkibar gagah, tetapi di luar musim pemilu, ia dibiarkan terkulai, menunggu kembali “disemir” oleh dana kampanye dan janji-janji baru.

Delapan puluh tahun merdeka bukan usia muda. Jika akar masalah ini tidak diselesaikan sekarang—pendanaan partai yang sehat, pengawasan publik yang kuat, dan keberanian memutus ketergantungan pada modal—maka generasi mendatang hanya akan mengenang demokrasi Indonesia sebagai pertunjukan lima tahunan.

Kemandirian politik berarti merawat bendera itu dengan sabar—memilih kain yang kuat, menenunnya dengan benang rakyat, dan menjaganya dari jamur kepentingan yang membuatnya lapuk. Tanpa itu, bendera akan tetap berkibar, tetapi pada suatu saat, ia akan robek tanpa peringatan.

Jika kemandirian partai politik ingin dicapai, maka perlu dua hal mendasar: memutus mata rantai ketergantungan pada pemilik modal, dan memutus mata rantai kekuasaan keluarga yang memonopoli pucuk pimpinan. Tanpa itu, bendera demokrasi Indonesia akan tetap berkibar, tapi hanya sebagai kain tua yang digerakkan oleh angin yang sama—bukan oleh napas rakyat yang berdaulat.

(nebby/Rizki).

Komentar