Beras Rendah Dioplos Jadi SPHP, Mencoreng Upaya Pemerintah Atasi Kemiskinan

Beras Rendah Dioplos Jadi SPHP, Mencoreng Upaya Pemerintah Atasi Kemiskinan

Reza Medium.jpeg

Senin, 28 Juli 2025 – 00:01 WIB

Pekerja mengemas beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di gudang Perum Bulog Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Rabu (22/1/2024). (Foto: Antara/Syifa Yulinnas/agr).

Pekerja mengemas beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) di gudang Perum Bulog Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Rabu (22/1/2024). (Foto: Antara/Syifa Yulinnas/agr).

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Belum selesai urusan beras premium oplosan kini mencuat kasus beras kualitas rendah disulap menjadi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog. Peneliti Peneliti dari Centre of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menilai pengoplosan ini ganggu program pemerintah dalam atasi kemiskinan.

“Ini merugikan negara dan juga konsumen kalangan menengah bawah. Negara mengalami kerugian karena programnya tidak efektif untuk mengurangi kemiskinan,” kata Eliza saat dihubungi di Jakarta, Minggu (27/7/2025).

Padahal program SPHP, katanya, dirancang sebagai intervensi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat miskin terhadap bahan pangan pokok, namun praktik oplosan membuat beras murah sulit diakses oleh penerima manfaat sebenarnya.

Terkait kasus dugaan pengoplosan beras kualitas rendah (reject) seharga Rp6.000 per kilogram (kg) yang dikemas menjadi SPHP dan dijual seharga Rp13.000 per kg oleh satu oknum berinisial R di Riau yang terungkap pada Kamis (24/7) lalu, Eliza menekankan hal tindakan tersangka mengambil alih porsi subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi keluarga miskin.

Akibatnya, keluarga miskin tidak mendapatkan beras SPHP sesuai harga dan kualitas yang ditetapkan, sehingga terpaksa membeli beras mahal yang menggerus belanja mereka untuk kebutuhan pokok lainnya.

“Konsumen rugi karena SPHP ini kan standarnya lebih bagus dari pada (beras) ‘reject’ (kualitas buruk). Dan beras SPHP murah karena disubsidi pemerintah,” tutur Eliza.

CORE menyebut kondisi itu berisiko memperluas kerentanan ekonomi dan memperparah kemiskinan karena salah sasaran subsidi akan membuat intervensi pemerintah kehilangan dampak perlindungan sosial yang diharapkan.

Karena itu, CORE menyarankan agar distribusi SPHP dilakukan langsung kepada penerima manfaat melalui operasi pasar keliling atau koperasi berbasis komunitas, guna mencegah kebocoran dan penyelewengan.

Selain penegakan hukum yang tegas, pemerintah juga harus memperkuat sistem pelacakan dan pengawasan digital agar setiap kilogram beras subsidi bisa dipantau transparan dan menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan.

“Itu mengapa menyalurkan SPHP harus resmi oleh pemerintah agar tidak terjadi lagi kebocoran dan pemalsuan beras reject jadi SPHP,” kata Eliza.

Sebelumnya, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengatakan penggerebekan yang dilakukan merupakan tindak lanjut dari arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak kejahatan yang merugikan konsumen.

Ia mengatakan operasi yang dipimpin Direktur Reskrimsus Polda Riau Kombes Ade Kuncoro pada Kamis (24/7), mengungkap dua modus operandi yang dilakukan tersangka R (34).

Pertama, pelaku mencampur beras medium dengan beras berkualitas buruk atau reject kemudian dikemas ulang menjadi beras SPHP, dan kedua pelaku membeli beras murah dari Pelalawan dan mengemas ulang dalam karung bermerek premium seperti Aira, Family, Anak Dara Merah dan Kuriak Kusuik untuk menipu konsumen.

Tersangka diduga membeli dua jenis beras bagus dan kualitas rendah (reject) di daerah Kabupaten Pelalawan. Untuk beras bagus dibeli dengan harga Rp11.000 per kg. Sedangkan beras kualitas rendah dibeli Rp6.000 per kg. Tersangka R membeli beras tersebut dari seseorang berinisial S.

Barang bukti yang disita meliputi 79 karung beras SPHP oplosan, 4 karung bermerek premium berisi beras rendah, 18 karung kosong SPHP, timbangan digital, mesin jahit, dan benang jahit.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e dan f, serta Pasal 9 ayat (1) huruf d dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar.
 

Topik
Komentar

Komentar