‘Bullying’ Berujung Maut di Garut: Potret Buram Kegagalan Sistem Pendidikan

‘Bullying’ Berujung Maut di Garut: Potret Buram Kegagalan Sistem Pendidikan

Basuki Medium.jpeg

Minggu, 20 Juli 2025 – 11:30 WIB

Bullying Berujung Maut di Garut: Potret Buram Kegagalan Sistem Pendidikan

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Deretan panjang korban perundungan atau populer dengan sebutan “bullying” terus bertambah. Terbaru, kasus bully berujung maut yang dialami siswa di SMAN 6 Garut, Jawa Barat. Ini menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam implementasi pendidikan karakter di Indonesia.

Senin 14 Juli 2025, sejatinya menjadi hari yang penuh keceriaan dalam diri setiap murid. Di hari itu, hari pertama masuk sekolah usai masa liburan. Namun tidak bagi PN (16) siswa kelas X di SMAN 6 Garut, Jawa Barat. Di hari itulah dia malah mengakhiri hidupnya. Tragis dan menyayat hati! Ia ditemukan meninggal di rumahnya dengan cara gantung diri. Bisa dibayangkan bagaimana pilunya hati orang tuanya.

Berdasarkan kesaksian dari ibu korban, Puji, anaknya sebelumnya mengalami depresi berat karena perlakuan tidak menyenangkan berupa dikucilkan hingga intimidasi fisik setelah dituduh melaporkan teman-temannya yang merokok elektrik alias vape di kelas. 

Perubahan drastis pada anaknya yang menjadi pemurung sejak akhir semester satu itu diperburuk dengan mendapat perlakuan tidak pantas dari oknum guru yang menyebut “anak berkebutuhan khusus (ABK)” lantaran tak bisa menjawab soal fisika. Peristiwa itu kemudian dijadikan contoh buruk oleh wali kelasnya di depan siswa-siswa lain.

Pihak keluarga merasa pihak sekolah, khususnya wali kelas, abai terhadap kondisi anaknya. Keluhan mengenai perundungan yang disampaikan ibu korban disebut tidak mendapat respons yang semestinya. Puncaknya, keputusasaan sang anak semakin menjadi setelah pihak sekolah menyatakan bahwa ia tidak naik kelas, yang menambah beban mental yang sudah berat ia pikul selama berbulan-bulan.

Peningkatan Kasus Tiap Tahun dan Gerakan Setop ‘Bullying’

Kembali terjadinya aksi bullying di Garut menambah daftar panjang kasus perundungan di Tanah Air. Aksi perundungan ini ternyata kerap terjadi di lingkungan sekolah. Dilansir dari data yang dilaporkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang tahun 2024 terdapat 573 kasus kekerasan di sekolah. Perlu digarisbawahi, jumlah tersebut hanya yang terjadi di sekolah, tidak termasuk yang di luar sekolah.

JPPI mencatat pelaku kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan didominasi oleh guru sebanyak 43 persen atau 229 orang. Adapun provinsi yang paling banyak melaporkan perundungan di lingkungan pendidikan adalah Jawa Timur (81 kasus), Jawa Barat (56 kasus), Jawa Tengah (45 kasus), Banten (32 kasus), dan Jakarta (30 kasus).

Bagaimana dengan data tahun ini? Untuk data 2025, JPII belum mengeluarkan laporannya. Begitupun dengan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun yang jelas, kasus bullying tahun 2025 ini masih menjadi perhatian utama berbagai kalangan, dengan berbagai laporan dan data yang menunjukkan bahwa masalah ini masih marak terjadi di berbagai lingkungan, termasuk sekolah dan dunia maya. Peningkatan kasus bullying, khususnya cyberbullying, menjadi kekhawatiran tersendiri, karena dampaknya yang luas dan berkepanjangan bagi korban.

Beberapa sumber juga menyebutkan ada peningkatan kasus perundungan yang dilaporkan setiap tahunnya, baik di sekolah maupun di lingkungan lainnya. Sejumlah data menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang diungkap KPAI dan FSGI, kasus bullying meningkat tajam secara nasional. Data tahun 2023, ada 1,478 kasus bullying dilaporkan. Sedangkan pada 2022, terdapat 266 kasus, 53 kejadian pada 2021, dan 119 peristiwa di 2020. Adapun jenis-jenisnya, bullying yang umum terjadi antara lain bullying fisik, bullying verbal, bullying sosial, cyberbullying, dan bullying emosional.

Untuk menekan perundungan, gerakan anti-bullying atau setop bullying di Indonesia mulai muncul dan mendapatkan perhatian lebih luas seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif bullying. Meskipun tidak ada satu tanggal pasti yang menjadi awal gerakan ini, namun beberapa peristiwa dan kebijakan penting terkait perlindungan anak dan kampanye anti-bullying telah menjadi pendorongnya. Berbagai sumber menyebutkan gerakan ini semakin terlihat tahun 2010-an, seiring dengan munculnya berbagai kampanye dan program pencegahan bullying di sekolah dan masyarakat.

Posisi ‘Bullying’ di dalam Hukum

Kasus perundungan tak bisa dilepaskan dari ranah hukum. Persoalannya, publik banyak tidak mengetahui langkah yang dapat ditempuh untuk dibawa ke masalah pidana guna menyelesaikan kasus bullying

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menekankan semua orang sepakat bullying harus disetop. Namun ia mencermati tidak banyak yang tahu bagaimana posisi bullying di dalam hukum, sehingga tidak ada detterence effect yang teraktivasi karena kebanyakan dari orang tua dan sekolah tidak tahu bahwa sesungguhnya bullying merupakan pidana. Bahkan sangat patut didudukkan sebagai pidana serius. 

post-cover
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel. (Foto: Dok. pribadi)

Reza juga mengamati semua fokus pada preventif, tapi mitigasi apalagi represifnya vakum, seolah tidak tersedia piranti hukum. Padahal, ketika masyarakat tahu tentang bagaimana konstruksi pidana terhadap bullying, maka itu diharapkan akan membuat pelaku atau calon pelaku berpikir ulang sebelum melakukan bullying. “Korban, keluarga, dan sekolah pun jadi paham bagaimana prosedur meminta pertanggungjawaban pelaku,” kata Reza dalam perbincangan dengan Inilah.com di Jakarta, Jumat (18/7/2025).

Karena itulah, ia bersama sejumlah pihak seperti Dompet Dhuafa dan beberapa mantan Komisioner KPAI, menyusun dan menyelenggarakan program Sekolah Melek Hukum. Fokusnya bukan pada preventif, melainkan mengedukasi murid dan guru terkait serbaneka kekerasan di sekolah, caranya membawa ke ranah hukum, penyelesaian litigasi dan mediasi, serta hak-hak korban. 

Program itu pun sudah dia dorong agar dapat dipertimbangkan untuk diadopsi sebagai program negara. Spesifik, ia sampaikan ke Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA) Veronica Tan dan mendapat respons positif. Saat ini, tinggal lagi bagaimana Wamen PPPA bisa meyakinkan jajaran birokrasinya bahwa Sekolah Melek Hukum memang sudah sepatutnya diselenggarakan dengan konsep yang baik, di seluruh lingkungan pendidikan dan keluarga, terintegrasi dengan lembaga-lembaga terkait, serta berkesinambungan.

Tanggung Jawab Bersama

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA) Veronica Tan menyebut secara umum, kasus bunuh diri yang diduga akibat bullying masih kerap terjadi karena kurangnya respons yang tepat ataupun dukungan dari orang sekitarnya dalam hal ini salah satunya adalah guru dan warga sekolah lainnya. Hal tersebut dapat menambah tekanan dan penderitaan yang korban rasakan saat mendapatkan perundungan, sehingga membuat mereka merasakan kehilangan akan harapannya.

post-cover
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan. (Foto: KemenPPPA)

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan Pendidikan dilakukan oleh peserta didik, pendidik, tenaga Kependidikan, orang tua/wali, komite Sekolah, dan Masyarakat. Guru dan sekolah dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi siswanya dengan berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam melakukan pencegahan kekerasan di sekolah.

Diperlukan kepekaan terhadap tanda-tanda bullying, baik yang terlihat secara fisik maupun emosional pada korban. Selain itu, guru dan sekolah perlu memberi ruang bagi siswa untuk bercerita tentang pengalaman mereka, termasuk jika mereka menjadi korban atau melihat terjadinya bullying. Apabila tanda-tanda bullying itu terlihat, guru dan pihak sekolah perlu bertindak cepat dan tepat serta memberikan dukungan pada korban dan mengambil tindakan yang sesuai kepada pelaku untuk memberikan efek jera. “Di sisi lain, guru perlu menjadi teladan bagi siswanya dan melakukan pencegahan bullying dengan komprehensif,” kata Veronica kepada Inilah.com di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).

Di sisi lain ia berpandangan gerakan “setop bully” kemungkinan belum memiliki peran yang besar karena masih banyak pihak-pihak yang abai dan kurang pekanya terhadap kondisi korban. Terkadang keluhan mengenai perundungan yang disampaikan tidak mendapat respons yang tepat dan semestinya. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu memberikan respons yang serius dan tepat apabila mendapatkan aduan terkait siswa yang mengalami bullying, sehingga korban dapat merasakan dukungan dari sekitarnya dalam menghadapi peristiwa tersebut. (Obs/ Vonita Betalia)

Topik
Komentar

Komentar