Bullying Bikin Pening, Sekolah jadi Ajang Pembantaian Mental

Bullying Bikin Pening, Sekolah jadi Ajang Pembantaian Mental

Dulu, sekolah dianggap sebagai “taman yang menyenangkan” tempat anak-anak bercengkerama sambil mengeja masa depan. Tapi sekarang, taman itu berubah jadi rimba, tempat yang kuat menindas yang lemah, dan para pendidik kadang malah ikut menyiramkan bensin ke bara api.

Tidak pernah terbesit sekali pun dari benak orang tua siswa bernama P (16), anaknya menjadi korban bullying di sekolah yang terletak di Garut. Hari itu menjadi pengalaman paling getir dalam hidup mereka, setelah mendapati buah hatinya tidak lagi bangun untuk berangkat sekolah. 

Siswa SMA yang duduk di kelas 10 di salah satu sekolah di Garut ditemukan sudah tak bernyawa di rumahnya, Senin (14/7/2025). Diduga, P memilih mengakhiri hidupnya setelah mengalami depresi berat yang dipicu perundungan (bullying) selama ini di sekolahnya.

Kasus ini menjadi sorotan publik setelah curhatan orang tua korban viral di media sosial. Dalam curhatan itu, orang tua menyebut P kerap mengalami kekerasan fisik dan pengucilan sosial di sekolahnya. Bahkan, muncul dugaan keterlibatan guru yang memperburuk kondisi psikologis korban.

Awalnya, korban dituduh melaporkan teman-temannya telah menggunakan vape di kelas. Padahal, korban tidak pernah melakukannya. Tuduhan palsu ini memicu kemarahan teman-teman sekelas, yang kemudian melakukan pengeroyokan fisik terhadap P di dalam kelas. 

Korban sempat kabur ke ruang Bimbingan Konseling (BK) untuk menyelamatkan diri. Namun, saat berusaha melindungi diri, korban tidak sengaja mengenai salah satu temannya, yang kemudian memperburuk situasi. 

Setelah kejadian itu, korban semakin dikucilkan. Beberapa teman mengaku ingin membantu, tetapi takut dijauhi jika ketahuan mendukung korban. 

Tidak hanya di kalangan siswa, dugaan keterlibatan oknum guru pun mencuat. Korban disebut sering direndahkan secara verbal di hadapan teman-temannya, antara lain dengan menyebutnya sebagai “ABK” (Anak Berkebutuhan Khusus) hanya karena tidak bisa menjawab soal. 

Seolah-olah ejekan dari sesama murid tak cukup, ditambah bumbu penghinaan dari guru sehingga membuat kesehatan mentalnya semakin terganggu.

Tak hanya itu, orang tuanya pun ikut jadi bahan gosip. Guru diduga menyebarkan rumor bahwa mereka tak peduli pada anaknya, hingga menyampaikan kabar negatif soal alasan P tak naik kelas. Sekolah yang katanya tempat “membentuk karakter” rupanya lebih piawai dalam membentuk luka.

Kasus Bullying Terus Meroket 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat terdapat  573 kasus kekerasan di sekolah sepanjang tahun 2024. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan angka tersebut meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan kasus kekerasan di sekolah pada 2023. 

“(Tahun) 2023 (ada) 285 kasus yang kami terima tetapi di 2024 sampai 573 kasus. Artinya peningkatannya bisa sampai lebih dari 100 persen,” kata Ubaid. 

JPPI mencatat, kasus seperti ini terus meningkatkan setiap tahun. Pada 2020 terdapat 91 kasus, lalu 142 kasus (2021), 194 kasus (2022), 285 kasus (2023), dan kini 573 kasus pada 2024. Kasus kekerasan seksual jadi yang tertinggi dengan angka 42 persen. 

Korban kekerasan seksual terbanyak adalah perempuan, yakni 97 persen, sedangkan korban perundungan paling banyak yakni laki-laki sebesar 82 persen. Kemudian disusul perundungan (31 persen), kerasan fisik (10 persen), kekerasan psikis (11 persen), dan kebijakan diskriminatif (6 persen). 

Tindakan bullying seolah mengakar dan menjalar tak berkesudahan. Indonesia seperti sedang mengalami darurat kasus bullying yang terjadi di lingkungan sosial khususnya sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya temuan kasus perundungan yang semakin meningkat kisaran 30-60 kasus per tahun. 

Sayangnya, data sebanyak ini hanya jadi koleksi angka tanpa aksi. Padahal, Indonesia juga menyandang gelar “peringkat kelima dunia” dalam kasus perundungan. Prestasi yang rasanya tidak perlu dirayakan.

Sementara data Programme for International Students Assessment (PISA) anak dan remaja di Indonesia mengalami 15 persen intimidasi, 19 persen dikucilkan, 22 persen dihina, 14 persen diancam, 18 persen didorong sampai dipukul teman dan 20 persen digosipkan kabar buruk.

Sedangkan United Nation International Children’s Emergency Fund (UNICEF) menilai kondisi perundungan di Indonesia lebih parah lagi. 

UNICEF mencatat Indonesia memiliki persentase tinggi terkait kekerasan anak. Bila dibandingkan negara Asia lainnya seperti Vietnam, Nepal maupun Kamboja, Indonesia menempati posisi yang lebih tinggi.

Lemahnya Sistem Pencegahan Kekerasan di Sekolah

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, menyoroti lemahnya sistem pencegahan kekerasan di sekolah yang dinilai menjadi faktor utama maraknya kasus bullying di lingkungan pendidikan. Selain itu, masih kuatnya budaya pendisiplinan dengan kekerasan juga memperparah situasi ini.

Menurut Ubaid, banyak sekolah belum memiliki kebijakan anti-bullying yang komprehensif, mudah dipahami, dan yang terpenting, dijalankan secara konsisten. 

“Seringkali, aturan hanya ada di atas kertas tanpa implementasi yang nyata. Pengawasan guru pun minim, terutama di area rawan seperti toilet, kantin, atau koridor,” paparnya kepada Inilah.com, Minggu (20/07/2025).

Sistem pelaporan yang tidak ramah dan tidak aman bagi korban juga disebut menjadi penghalang besar. Banyak siswa atau saksi yang enggan melapor karena takut akan pembalasan atau tidak yakin laporannya akan ditindaklanjuti.

Prosedur yang rumit dan tidak menjamin kerahasiaan pun semakin memperparah ketidakpercayaan ini. Ubaid juga menekankan bahwa program edukasi tentang bullying di sekolah masih bersifat sporadis dan lebih sering menjadi formalitas belaka. 

Hal ini, menurutnya membuat sekolah gagal membangun budaya anti-kekerasan secara menyeluruh.

“Masih kuatnya mindset pendisiplinan dengan kekerasan juga merupakan akar masalah. Beberapa individu, baik itu orang tua, guru, maupun senior, masih beranggapan kekerasan fisik atau verbal adalah cara efektif untuk mendisiplinkan atau menyelesaikan konflik,” tambahnya. 

Ironisnya, pelaku bullying kerap merupakan korban dari kekerasan sebelumnya. Mereka melampiaskan kekuasaan pada yang lebih lemah, mengikuti pola yang mereka lihat dan alami. 

Bahkan, tindakan bullying sering dibungkus dengan dalih candaan, pelajaran hidup, atau proses pendewasaan, yang justru menghambat penanganan serius.

Ubaid juga menegaskan pentingnya peran aktif orang tua dalam mencegah dan menangani bullying. Ia menyatakan, keterlibatan orang tua tidak seharusnya hanya muncul ketika anak menjadi korban.

“Jika anaknya menjadi korban, orang tua bisa melapor ke kepala sekolah atau tim pencegahan dan kenangan kekekerasan (TPPK) di sekolah. Atau sarana pengaduan lain di level sekolah,” ujarnya.

Dengan laporan dari orang tua, lanjut Ubaid, sekolah dipaksa harus bertindak lebih serius. Keberanian orang tua untuk bersuara juga dapat menjadi tekanan moral agar praktik pendisiplinan dengan kekerasan dihentikan. 

Sekolah harus dipaksa untuk bertindak, karena kadang, empati tidak datang dari hati, tapi dari tekanan publik. Semakin banyak orang tua bersuara, semakin sulit sekolah menutup mata. 

“Budaya diam adalah akar dari terus tumbuhnya kekerasan. Dan akar itu harus kita cabut bersama-sama,” tegas Ubaid.

Dampak Perilaku Bullying Terhadap Kesehatan Mental

Dampak bullying terhadap kesehatan mental merupakan masalah serius yang dapat memengaruhi korban di berbagai aspek kehidupan. Apalagi jika ini terjadi di kalangan anak-anak bahkan sejak di taman kanak-kanak.

Ada beberapa efek yang perlu diperhatikan di antaranya:

1.Gangguan Psikologis 

Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman sebagai korban bullying dapat memiliki konsekuensi negatif yang signifikan, terutama bagi anak-anak dan remaja. 

Salah satu dampak utama dari bullying adalah munculnya gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. 

2. Mengalami Depresi 

Depresi sering dialami oleh korban bullying, yang mungkin merasa sedih, kehilangan minat pada aktivitas yang mereka sukai, dan merasa putus asa. Ini dapat memengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan dan berpotensi memicu pikiran atau perilaku merugikan diri sendiri.

3. Gangguan Kecemasan 

Dapat disimpulkan bahwa gangguan kesehatan mental dan kecemasan adalah dampak umum dari bullying. Korban sering merasa cemas, takut, dan waspada dalam berbagai situasi, terutama di sekolah. 

Hal ini dapat mengganggu konsentrasi mereka dalam belajar dan berinteraksi dengan orang lain, serta meningkatkan risiko masalah kecemasan yang lebih serius di masa depan.

4. Gangguan Tidur 

Hal ini juga merupakan dampak lain yang sering dialami oleh korban bullying. Mereka mungkin kesulitan tidur, terbangun secara teratur di malam hari, atau mengalami mimpi buruk berulang. 

Gangguan tidur ini dapat menyebabkan kelelahan, penurunan konsentrasi, dan berdampak negatif pada kesejahteraan fisik dan mental secara keseluruhan.

Melihatnya dampaknya yang sangat berat terhadap kesehatan mental bahkan depresi yang bisa memicu bunuh diri, sudah saatnya semua pihak berhenti sekadar mengutuk dan mulai bergerak. 

Karena jika anak-anak terus belajar dalam ketakutan, maka satu generasi akan tumbuh tanpa harapan.

Jika sekolah tak bisa lagi menjamin rasa aman, lalu kepada siapa kita menyerahkan masa depan anak-anak? 

Jika guru tak lagi menjadi pelindung, dan teman sebaya menjadi pemangsa, lalu di mana arti kata “pendidikan”? 

Jangan sampai sekolah tak ubahnya menjadi medan perang sunyi, senjatanya kata serta kekerasan, pelurunya stigma, dan korbannya anak-anak yang seharusnya dilindungi.

Komentar