Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), Herry Mendrofa menyebut, kenaikan Pajak Bumi Bangunan (PBB) di berbagai daerah, bisa menjadi instrumen fiskal yang sah. Tapi itu bukan satu-satunya jalan.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu lebih kreatif, transparan dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kebijakan fiskal yang baik bukan hanya soal angka, tapi juga harus adil dan mendorong keberlanjutan sosial.
“Memang, menaikkan PBB bisa menjadi cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Terutama di tengah keterbatasan dana transfer pusat. Namun, jika tidak disertai dengan kajian sosial-ekonomi yang matang, langkah ini justru bisa kontraproduktif. Potensi PAD terganggu jika masyarakat menolak sehingga terjadi kenaikan tunggakan (pajak),” tutur Herry kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Minggu (17/8/2025).
Ia menyatakan, yang justru penting dilakukan saat ini, adalah mewujudkan keadilan dan proporsionalitas. Kenaikan pajak harus mempertimbangkan nilai objek pajak, kemampuan keuangan masyarakat dan asas keadilan.
Jika kenaikan tidak proporsional dengan nilai tanah atau bangunan, atau tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi warga, maka kebijakan tersebut bisa dianggap eksploitatif.
“Tentu saja. Pemerintah daerah memiliki sejumlah opsi lain yang bisa dipertimbangkan, misalnya soal bagaimana mengoptimalisasi pemungutan pajak dan retribusi yang sudah ada. Memang realitasnya adalah banyak daerah yang belum maksimal dalam memungut pajak restoran, hotel, hiburan, atau retribusi jasa tertentu. Maka perbaikan sistem dan digitalisasi bisa meningkatkan efisiensi dan transparansi,” ungkapnya.
Selain itu daerah bisa mengelola aset publik secara produktif, seperti tanah, gedung, atau BUMD, untuk menghasilkan pendapatan tanpa membebani masyarakat langsung.
“Atau barangkali inovasi pendanaan berbasis partisipasi melalui obligasi daerah, crowdfunding pembangunan, atau kemitraan publik-swasta yang transparan dan akuntabel juga bisa jadi opsi yang tepat ditengah krisis APBD,” kata dia.
“Semua ini pada dasarnya adalah political will setiap daerah. Komitmen untuk berinovasi dan bertindak cepat adalah keniscayaan. Jika hanya bergantung ke Pemerintah pusat, maka semua program bisa mandek dan akhirnya mengambil pilihan menaikkan pajak di daerah,” tandas Herry.
Beberapa waktu lalu, masyarakat dibikin heboh dengan protes keras ribuan warga Pati, Jawa Tengah terhadap rencana Bupati Pati, Sudewo mengerek naik PBB hingga 250 persen. Alasannya, untuk mempercepat pembangunan di Pati.
Tak perlu waktu lama, warga Pati itu yang tersulut tantangan Bupati Sudewo itu, terlibat bentrok dengan aparat berlanjut aksi bakar-bakaran. Melihat chaos yang terbus membesar, DPRD Pati mengambil inisiatif untuk menggelar hak angket untuk pemakzulan bupati.
Ternyata, Pati bukan satu-satunya kabupaten yang berancang-ancang menaikkan PBB. Cirebon, kota di Jawa Barat, bahkan mengerek pajak hingga 1.000 persen. Atau 4 kali lipat dari tarif yang sedianya diterapkan Bupati Pati.
Demikian pula Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ada warga membawa uang berbentuk koin dari hasil membongkar celengan, untuk membayar PBB. Langkah itu merupakan bentuk protes masyarakat.
Hal yang sama terjadi di Kabupaten Banyuwangi, dan banyak daerah lainnya. Menaikkan PBB memang wewenang kepala daerah. Namun jangan ugal-ugalan juga angkanya.
Ketika penghasilan rakyat belum membaik, ditunjukkan dengan masih lemahnya daya beli, kebijakan tersebut tidaklah bijaksana. Ingat, kepala daerah adalah pelayan rakyat, bukan penindas.