Cadangan Devisa Mei 2025 Susutnya Setara Anggaran MBG, Ekonom: Jangan Anggap Enteng

Cadangan Devisa Mei 2025 Susutnya Setara Anggaran MBG, Ekonom: Jangan Anggap Enteng


Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa (cadev) Mei 2025 susut hingga US$4,6 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Angka susutnya cukup gede, nyaris Rp75 triliun dengan kurs Rp16.500/US$. Hal yang biasa? 

Menurut Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, angkanya cukup gede karena mendekati Rp80 triliun, menurut perhitungannya. Di mana, posisi cadev April 2025 tercatat US$136,2 miliar, tergerus signifikan menjadi US$131,6 miliar pada Mei 2025.

“Secara nominal, angka susutnya cadev Mei 2025 mendekati Rp80 triliun. Sebanding dengan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp71 triliun, yang menjadi prioritas pada tahun ini,” ungkap Achmad Nur, Jakarta, Minggu (11/5/2025).

Anjloknya cadev Mei ini, menurutnya, bukan sekadar fluktuasi biasa, namun sinyal serius yang menunjukkan tekanan terhadap fondasi makroekonomi Indonesia yang harus direspons secara strategis dan mendalam oleh otoritas moneter, yakni BI.

“Sebagai benteng pertahanan utama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan persepsi pelaku pasar, terhadap kredibilitas kebijakan ekonomi nasional, cadangan devisa yang menurun dalam jumlah signifikan, patut dikhawatirkan,” ungkapnya.

Cadangan devisa bukan hanya angka di atas kertas, melainkan simbol kepercayaan internasional terhadap perekonomian Indonesia dan alat intervensi riil bagi stabilitas eksternal. “Ada tiga alasan mengapa penurunan sebesar US$4,6 miliar ini tidak bisa dianggap remeh,” bebernya.

Pertama, lanjut Achmad Nur, dalam konteks global, ketegangan geopolitik di Timur Tengah (Timteng) dan kebijakan suku bunga tinggi bank sentral AS atau The Fed, masih mendominasi sentimen pasar keuangan.

Kedua, kata dia, dari sisi domestik, pelemahan rupiah terhadap dolar AS, mendorong intervensi agresif dari BI di pasar valas. Langkah ini berkontribusi besar terhadap penurunan cadev Maret 2025.

“Ketiga, besarnya repatriasi dividen dan pembayaran utang swasta yang jatuh tempo pada kuartal kedua turut menekan posisi devisa,” imbuh Achmad Nur.

Pertanyaan lanjutan, kondisi ini tak bisa terhindarkan? Atau justru mencerminkan kurangnya ketahanan sistem moneter kita terhadap gejolak eksternal dan tekanan struktural dalam negeri?  “Menurut saya, inilah momentum yang tepat bagi BI untuk melakukan introspeksi kebijakan dan memperkuat empat pilar ketahanan devisa secara sistemik,” jawab Achmad Nur.

Pertama, kata Achmad Nur, BI perlu memperkuat manajemen ekspektasi nilai tukar. Sejauh ini, intervensi BI di pasar valas, tampak reaktif terhadap gejolak nilai tukar harian.

“Namun volatilitas jangka pendek seharusnya tidak menjadi justifikasi bagi pengurasan cadev yang agresif. Diperlukan strategi forward guidance yang lebih komunikatif, disertai transparansi arah kebijakan suku bunga dan intervensi pasar,” terangnya.  

Kedua, kata dia, diversifikasi instrumen pembentukan devisa. Ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer dan aliran modal portofolio jangka pendek menjadikan cadangan devisa kita sangat rentan terhadap volatilitas global.

“Ketiga, reformasi pasar valas domestik. Tingginya permintaan valas dari korporasi dan rendahnya pasokan dolar AS di dalam negeri, menunjukkan pasar valas kita belum cukup dalam dan efisien. Keempat, perlunya rekalibrasi kebijakan suku bunga,” pungkasnya.

 

Komentar