Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, Said Iqbal mempertanyakan data dan metodologi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kemiskinan per Maret 2025.
Di mana, BPS mencatat, tingkat kemiskinan Maret 2025 sebesar 8,47 persen, lebih rendah ketimbang September 2024 yang mencapai 8,57 persen. Kesimpulan BPS, jumlah rakyat miskin berkurang menjadi 23,85 juta orang.
“Pengukuran data dan metodologi angka kemiskinan 2025 versi BPS, sudah usang, tidak sesuai perkembangan zaman, dan bertentangan dengan metodologi perhitungan angka kemiskinan dari lembaga internasional,” kata Said Iqbal di Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Dengan demikian, lanjut Said Iqbal, pernyataan BPS yang menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2025, menurun dibandingkan tahun sebelumnya adalah bias, tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, dan lebih banyak bersifat politis.
Selanjutnya, Said Iqbal membandingkan hasil perhitungan angka kemiskinan BPS dengan analisa data kemiskinan yang dilakukan litbang Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB). Lembaga ini beranggotakan 4 konfederasi serikat pekerja, 63 federasi serikat pekerja tingkat nasional, 9 organisasi kerakyatan, dan Partai Buruh.
Pertama, kata Said Iqbal, perhitungan angka kemiskinan oleh BPS, tidak menggunakan metodologi angka kemiskinan yang diterapkan lembaga internasional, yakni World Bank atau Bank Dunia.
Di mana, BPS masih menyajikan metodologi dengan kondisi negara Indonesia berada di kelompok negara berpenghasilan rendah (low income country/LIC), padahal Indonesia oleh lembaga internasional, sudah ditempatkan sebagai negara berpenghasilan menengah level atas (upper middle income country/UMIC).
“BPS masih menggunakan batas orang miskin yang berpenghasilan sekitar USD 2,5 PPP (Purchasing Power Parity) per hari, sehingga didapatkan jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 8,57 persen, atau hanya sekitar 24 jutaan orang,” papar Said Iqbal.
Padahal, lanjutnya, jika menggunakan metodologi lembaga internasional, orang miskin ekstrem berpenghasilan USD3 PPP, dan untuk Indonesia yang masuk kategori UMIC, menggunakan titik tengah penghasilan orang miskin sebesar USD 5 PPP per hari (sekitar Rp756.000/bulan). Maka, angka kemiskinannya berjumlah 68 juta orang.
“Bahkan, Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan untuk Indonesia, sebesar USD6,5 PPP per hari (sekitar Rp1,2 juta/bulan), jumlah orang miskin di Indonesia, sebanyak 68 persen. Atau sekitar 190 juta orang. jauh sekali bedanya,” papar Said Iqbal
Data BPS yang bias ini, lanjut Said Iqbal, menunjukkan orang kaya di Indonesia, semakin kaya. Sebaliknya, warga miskin makin terpuruk. Terutama di kelompok buruh yang mendekati miskin (near poor) semakin jatuh menjadi kelompok miskin ketika terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
“Akibatnya, kelompok itu tidak mendapat bantuan sosial dari pemerintah. KSP-PB berpendapat, data BPS keliru dan mengandung unsur politik, serta tidak menjelaskan kondisi buruh yang sebenarnya,” ungkapnya.
Kedua, kata Said Iqbal, litbang KSP-PB mencatat, sekitar 70.000 buruh terkena PHK dalam sepanjang Januari-April 2025. Artinya, jumlah PHK yang meningkat, maka meningkat pula angka kemiskinan. “Namun, anehnya BPS melansir angka kemiskinan menurun,” imbuhnya.
Bahkan, lanjutnya, litbang KSP-PB mencatat terjadi PHK di PT MKM di Tegal, Jawa Tengah, sebanyak 600-an orang, Selain itu, PHK terjadi di beberapa perusahaan tekstil, garmen di Pulau Jawa, Ratusan pegawai toko di mal besar bernasib sama.
“Semuanya karena daya beli masyarakat yang menurun, kemudian muncul istilah ‘Rojali’ dan ‘Rohana’, Sementara data Apindo menyebutkan, sebanyak 50 persen responden yang diteliti, sudah dan sedang kena PHK,” kata Said Iqbal.