Ilustrasi–Pengunjung memadati pusat perbelanjaan jelang Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah, tepatnya di Mall Ratu Indah, Makassar. (Foto: ANTARA Foto/Nur Suhra Wardyah).
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Sejak pademi COVID-19, pengusaha pusat perbelanjaan atau mal yang tergabung dalam Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), bisnisnya megap-megap.
Pasalnya, para pengunjung mal atau pusat perbelanjaan dalam beberapa tahun terakhir, didominasi kaum ‘rojali’ dan ‘rohana’.
Di mana, ‘rojali’ adalah rombongan jarang beli, sedangkan ‘rohana’ adalah rombongan hanya nanya, tidak beli.
Munculnya dua rombongan ini, gara-garanya daya beli masyarakat yang semakin rebah dalam beberapa tahun terakhir. Khususnya kelas menengah ke bawah.
Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja mengaku, aktivitas pengunjung mal atau ritel modern untuk berbelanja, meredup. Sebagian besar ya itu tadi, kalau tidak bertanya ya hanya sekadar cuci mata.
“Saya kira di pusat perbelanjaan itu kan sifatnya offline. Kalau offline, pasti terjadi interaksi, tawar-menawar, nanya harga dan sebagainya. Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu,” ujar Alphonzus di Jakarta, dikutip Jumat (25/7/2025).
Dia berkelit, keberadaan ‘rohana’ justru mencerminkan peran pusat perbelanjaan dalam arti luas. Bukan sekadar tempat jual beli, melainkan sarana hiburan dan edukasi.
“Fenomena rohana karena salah satunya faktor daripada fungsi pusat belanja. Fungsi pusat belanja itu kan bukan cuma sekedar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya, ya hiburan dan sebagainya. Jadi inilah yang menyebabkan selalu ada fenomena rojali dari waktu ke waktu. Karena tadi, fungsi pusat belanja bukan hanya sekedar belanja,” jelas Alphonzus.
Meski tidak mempermasalahkan kehadiran pengunjung yang hanya bertanya atau melihat-lihat, Alphonzus mengakui, tren ini berdampak kepada performa penjualan tenant di mal.
Ia menyebut, omzet ritel mengalami penurunan akibat pergeseran pola belanja masyarakat. Ketika omzet turun maka penyewa gerai di mal, akan kesulitan membayar sewa. Terpaksalah mereka berhenti jualan di mal. Sepilah mal itu.
“Pasti (ada penurunan omzet), karena kan sekarang masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya, atau unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan, pasti. Karena kan tadi, harganya kan belinya cenderung produk-produk yang harganya satuannya murah,” ungkap dia.
Diperkirakan, pertumbuhan pusat belanja secara nasional pada 2025, masih akan positif. Meski tidak sekuat harapan awal. Pertumbuhannya diperkirakan hanya satu digit, atau di bawah 10 persen. Padahal, target pertumbuhan omzet yang semula dipatok pusat perbelanjaan berada di kisaran 20-30 persen.
“APPBI memprediksi tahun 2025 ini tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu. Tumbuhnya, tapi tidak signifikan. Paling single digit. Single digit artinya kurang dari 10 persen. Tapi tetap tumbuh,” katanya.