Demam Es Krim Cantik di China: Antara Estetika, Kesehatan dan Taktik Dagang

Demam Es Krim Cantik di China: Antara Estetika, Kesehatan dan Taktik Dagang


Lupakan es krim cone atau stik yang itu-itu saja. Kini, di China, es krim bukan lagi sekadar cara sederhana untuk mendinginkan diri. Ia telah bertransformasi menjadi karya seni, simbol gaya hidup, dan cermin dari pergeseran selera konsumen yang makin cerdas.

Fenomena ini terekam jelas dari tingkah Pan Yang, remaja 17 tahun asal Shijiazhuang, Hebei. Ia tak segan memotret es krim matcha-nya hanya karena tampilannya yang ‘sangat menarik’. Bahkan, ada kelopak bunga di atasnya. Estetika rupanya menjadi penentu utama.

Sensasi Visual dan Emosional Jadi Kunci

Di platform media sosial seperti Rednote, es krim-es krim ini viral. Warganet ramai mengunggah foto-foto es krim premium yang dibentuk menyerupai bunga mekar hingga buah-buahan segar. Komentar yang muncul pun serupa: “Menggemaskan” dan “terlalu cantik untuk dimakan.”

Menurut analisis Zhu Danpeng, pakar industri makanan, fenomena ini adalah refleksi dari keinginan konsumen —khususnya kaum muda— untuk mencari kepuasan emosional dan pengalaman yang bermakna dari setiap produk yang mereka konsumsi.

Di berbagai museum dan tempat wisata, es krim kini menjadi primadona. Museum Handan di Hebei misalnya, meluncurkan es krim kreatif yang terinspirasi dari artefak berharga. Bahkan, ada ‘kotak misteri’ berisi es krim dengan rasa acak untuk menarik pelanggan. Hasilnya? Lebih dari 100 es krim terjual setiap hari selama musim panas.

“Kami berharap orang-orang dari berbagai usia dapat menikmati cita rasa lezat sekaligus budaya lokal melalui es krim kami,” ujar Wang Haiyun, staf museum.

Es Krim Sehat Lebih Digemari

Di balik tampilan cantiknya, konsumen China juga semakin selektif. Kesadaran akan kesehatan dan kualitas bahan baku kian tinggi seiring dengan meningkatnya standar hidup.

Seorang penggemar es krim bernama Dong, 23 tahun, mengatakan, ia akan memilih es krim dengan bahan lebih sehat jika rasanya sama dengan yang lain. “Saya rela membayar lebih untuk es krim dengan bahan-bahan berkualitas tinggi,” tegasnya.

Survei iiMedia Research pada 2024 menguatkan hal ini. Hampir separuh responden menjadikan rasa sebagai faktor terpenting. Namun, faktor ‘sehat dan rendah lemak’ juga menjadi pertimbangan penting bagi 33,08 persen responden, sementara 30,25 persen mempertimbangkan daftar bahan.

Produsen es krim pun mau tak mau harus berinovasi. Merek tradisional mulai menyesuaikan bahan, sementara merek baru seperti Romanlin Ice Cream memikat hati konsumen dengan label ‘artisan’ dan ‘olahan segar’.

Didirikan pada 2019, Romanlin kini sudah memiliki lebih dari 500 toko di China dan berekspansi ke Malaysia. Ma Zhichao, kepala perusahaan, meyakini, produk ‘cantik’ akan menarik konsumen baru. Namun, ‘produk yang lezat akan menarik mereka untuk membeli lagi’.

Untuk menyeimbangkan rasa dan kesehatan, Ma menekankan pentingnya penggunaan bahan premium dan peralatan canggih. Hal ini memungkinkan produk memiliki rasa nikmat dengan kadar gula dan lemak yang lebih rendah.

Lalu, bagaimana dengan harga? Produk-produk inovatif ini memang cenderung lebih mahal. Namun, menurut pakar positioning merek, Zhan Junhao, konsumen China yang makin matang bersedia membayar lebih.

“Jika inovasi dan kualitas sepadan dengan harganya, orang-orang masih bersedia membayar,” ujar Zhan.

Dong pun sependapat. “Jika kualitasnya tidak bagus, tidak mungkin saya beli!” tutupnya.

Komentar