Banyak kalangan mendorong Badan Pusat Statistik (BPS) mengubah standar kemiskinan yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi terkini. Tapi, jangan gunakan patokan Bank Dunia, karena terlalu tinggi.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyebut standar garis kemiskinan BPS, terlalu rendah sehingga tidak mencerminkan realitas saat ini.
“Benchmark yang terlalu rendah ini membuat kita complacent, tidak all out memberantas kemiskinan. Cukup dengan memberikan bansos sedikit saja, puluhan juta orang terangkat ke atas garis kemiskinan tersebut,” ucapnya
Di sisi lain, Wija, sapaan akrabnya, tak setuju jika BPS menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia. Karena angkanya terlalu tinggi untuk Indonesia yang baru saja memasuki kategori negara berpenghasilan menengah atas.
Di mana, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia sebesar US$4.960 pada 2024, lebih dekat ke batas bawah negara berpenghasilan menengah atas dari World Bank, yang memiliki kisaran PDB berada di kisaran US$4.500-US$14.000 per kapita. “Namun, dunia pasti mengacu kepada data World Bank. Mau tak mau, kita harus menjadikannya landasan,” kata Wija.
Sebagai informasi, data resmi dari BPS menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen dari total penduduk atau sekitar 24,06 juta jiwa. BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN), bukan menggunakan PPP seperti Bank Dunia.
Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Data tersebut sangat jauh berbeda dengan data dari Bank Dunia.
Menurut laporan Bank Dunia April 2025, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk. Kemudian, adanya perubahan indikator PPP 2017 ke PPP 2021 per Juni 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah dari 60,3 persen menjadi 68,25 persen pada 2024.
Dengan perubahan ini, maka formula pendapatan penduduk dalam PPP yang menjadi acuan Bank Dunia berubah dari US$6,85 PPP menjadi US$8,30 PPP.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan berpandangan sama. Dia menilai, angka kemiskinan yang dijadikan acuan BPS, harus segera direvisi. Untuk mengimbangi penyesuaian standar internasional, seperti versi Bank Dunia atau World Bank.
Saat ini, kata Luhut, DEN tengah melakukan studi untuk menentukan metode atau ukuran yang pas tentang garis kemiskinan bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). “Secara menyeluruh nanti sedang di studi, BPS juga bicara dengan kami mengenai ini, sehingga kita tidak perlu kaget-kaget,” kata Luhut di sela acara International Conference on Infrastructure 2025 di Jakarta Convention Center, Kamis (12/6/2025).
Jika perhitungan garis kemiskinan terbaru yang disusun DEN sudah rampung, lanjut Luhut, akan diserahkan ke Presiden Prabowo Subianto. Intinya, jumlah kemiskinan di Indonesia harus lebih tergambar angkanya, sesuai kondisi faktual.
“Kita berharap nanti mungkin kalau Presiden setuju, angka-angkanya bisa keluar nanti dan pidato Presiden mungkin akan lebih mencerminkan angka yang sebenarnya,” papar Luhut.