Diskon Tarif Resiprokal Jadi Percuma jika tak Diimbangi Efisiensi Biaya Produksi

Diskon Tarif Resiprokal Jadi Percuma jika tak Diimbangi Efisiensi Biaya Produksi

Clara Medium.jpeg

Senin, 21 Juli 2025 – 14:51 WIB

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi 'Peluang dan Tantangan Industri Kimia' di Jakarta, Jumat (14/3/2025). (Foto: Antara/Muzdaffar Fauzan)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi ‘Peluang dan Tantangan Industri Kimia’ di Jakarta, Jumat (14/3/2025). (Foto: Antara/Muzdaffar Fauzan)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus menegaskan, penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dari 32 persen menjadi 19 persen jangan dulu dibangga-banggakan. Sebab, masih berdampak negatif bagi sektor investasi dan nilai ekspor terhadap produk Indonesia.

Dia mengungkap, salah satu dampak dari tarif resiprokal tersebut, adalah potensi merosotnya investasi di sektor tekstil, pakaian jadi dan alas kaki sebesar 2,06 persen.

“Ini hitungan yang mengacu pada kemungkinan potensi turun. Selain investasi yang juga turun, ekspor dan impor indonesia juga pada sektor yang tekstil, alas kaki dan pakaian jadi, 4,99 persen kemungkinan akan turun lumayan besar,” ujar Heri dalam diskusi public ‘Tarif Amerika Turun, Indonesia Bakal Untung?’, di Jakarta, Senin (21/7/2025).

Dia menjelaskan, dibanding negara-negara pesaing di sektor industri tekstil seperti Vietnam, Malaysia dan Bangladesh, Indonesia memiliki rasio intervensi modal terhadap output (ICOR) jauh lebih tinggi.

Diwanti-wanti, bukan mustahil situasi ini akan dimaanfaatkan oleh negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Bangladesh untuk ikut-ikutan ekspor barang sejenis. Indonesia tentu bakal kalah saing, dari sisi biaya produksi.

“Kalau pengenaan tarifnya misalnya Vietnam, Malaysia, Bangladesh yang bikin tekstil pakaian jadi, alas kaki itu tarif lebih tinggi belum tentu mereka ekspornya turun lebih besar dari kita. Karena ada yang Namanya daya saing kompetitif. Misalnya mereka tarif tinggi ketika ekspor ke Amerika Serikat 30 persen kan harusnya misal harga 100 dikenakan 30 persen biaya Malaysia harusnya jadi Rp130 ribu. Kalau di kita misalnya 100 tambah 19 persen jadi Rp119 ribu. Tetapi ternyata ada faktor lain yang menyebabkan, misalnya produk negara kompetitor dengan negara indonesia di negara AS itu bisa lebih murah karena faktor biaya produksi selain tarif itu sendiri,” jelas dia.

Dia menyebut, ICOR yang tinggi membuat biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh pengusaha lebih besar. Jadi, meskipun tarif impor yang didapat Indonesia hanya 19 persen sedangkan Vietnam, Malaysia dan Bangladesh lebih tinggi, yakni 20 persen, 25 persen dan 35 persen, biaya produksi untuk produk tertentu di RI belum tentu lebih kecil.

“Ketika kita produksi tekstil dan pakaian jadi alas kaki bagaimana biaya yang terjadi di negeri ini. Harga listriknya harga energi, harga logistik, transportasinya itu semua terakumulasi. Kalua misalnya biaya kaya gitu mahal, ditambah tarif 19 persen nah nyampe sana makin maha. Tapi kalau di Vietnam atau di negara lain biaya energinya, tenaga kerja, logistik, transport lebih efisien, meskipun ditambah tarif 30 persen atau 20 persen sampai Amerika Serikat tidak akan lebih tinggi dari harga barang di Indonesia,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia mengatakan, agar tarif 19 persen bisa menguntungkan Indonesia, pemerintah perlu memikirkan cara mengefisiensikan biaya produksi.

“Jadi ini juga menentukan faktor biaya industri itu. Jadi mentang-mentang 19 persen, negara lain lebih tinggi, belum tentu juga, biaya untuk menciptakan produk itu bagaimana di indonesia dibandingkan dengan negara lain,” tutur dia.

Topik
Komentar

Komentar