Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7/2025). (Foto: Inilah.com/Rizki)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal menyoroti praktik beras oplosan yang dinilai merugikan masyarakat. Karena itu dirinya meminta Bareskrim Polri, untuk menindak tegas pihak yang terlibat.
“Hal-hal kayak gini ini kan harus sudah dihentikan. Nanti biarkan penegak hukum yang akan turun. Kita berharap kalau misalkan laporan-laporan di bawah ini sudah hal yang merugikan orang banyak,” kata Cucun kepada awak media di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Minggu (13/7/2025).
Saat disinggung mengenai keterlibatan Wilmar Group yang disebut-sebut terseret dalam kasus tersebut dan telah diperiksa Bareskrim Polri, Cucun mendorong pendalaman lebih lanjut oleh aparat hukum.
“Saya di Komisi III akan dorong juga pihak kepolisian, kejaksaan, bahkan semuanya masuk meneliti itu,” ucapnya.
Lebih jauh, Cucun juga menanggapi dugaan keterlibatan Wilmar Group dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada 2022, serta kini kembali terseret kasus beras oplosan. Ketika disinggung, apakah perusahaan tersebut layak dibubarkan?
Namun, menurut Cucun, pembubaran perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran hukum harus mengikuti mekanisme sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Siapapun, mau Wilmar, mau siapapun. Sekarang Pak Presiden sudah konsen dan kita apresiasi siapapun pokoknya yang melakukan pelanggaran hukum ya nanti kan ada mekanismenya,” katanya.
“Kalau masalah pembubaran dan segala macam itu ada undang-undang juga tentang company ya,” sambungnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah memeriksa empat produsen atas dugaan pelanggaran mutu dan takaran dalam distribusi beras. Pemeriksaan dilakukan usai Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, membongkar praktik kecurangan tersebut.
“Betul, masih dalam proses pemeriksaan,” kata Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helfi Assegaf, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Brigjen Helfi menyebut empat produsen yang diperiksa adalah WG, FSTJ, BPR, dan SUL/JG, tanpa merinci materi pemeriksaan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, WG merujuk pada Wilmar Group, FSTJ adalah Food Station Tjipinang Jaya, BPR adalah Belitang Panen Raya, dan SUL/JG merupakan Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Produk Wilmar Group yang diperiksa meliputi merek Sania, Sovia, dan Fortune. Sampel beras diambil dari berbagai wilayah seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.
Sementara itu, PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) diperiksa atas produk beras merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos. Sampel diambil dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.
PT Belitang Panen Raya (BPR) diperiksa terkait produk Raja Platinum dan Raja Ultima, dengan sampel dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek.
Adapun PT Sentosa Utama Lestari (SUL)/Japfa Group diperiksa setelah pengambilan tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Wilmar Group terkait pemeriksaan tersebut. Upaya konfirmasi Inilah.com kepada Asisten Manajer Public Relations PT Wilmar Nabati Indonesia, Alina Musta’idah, belum mendapatkan respons.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran telah melaporkan 212 produsen beras yang diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung. Laporan ini merupakan hasil investigasi terhadap 268 merek beras bersama sejumlah pemangku kepentingan.
“Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti,” ujar Amran di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan bahwa 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan.
“Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Amran.
Ia menambahkan, anomali harga beras saat ini justru terjadi ketika produksi nasional meningkat. Berdasarkan data FAO, produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 35,6 juta ton pada 2025/2026, melampaui target nasional sebesar 32 juta ton.
Amran memperkirakan potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini mencapai Rp99 triliun.
“Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan,” tandasnya.