DPR Ingatkan RI Harus Cerdik dalam Negosiasi Tarif Trump, Harus Ada Jaminan Timbal Balik

DPR Ingatkan RI Harus Cerdik dalam Negosiasi Tarif Trump, Harus Ada Jaminan Timbal Balik

Clara Medium.jpeg

Jumat, 11 Juli 2025 – 19:28 WIB

Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR dari Fraksi PKS, Amin Ak. (Foto: Dok. Fraksi PKS DPR).

Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR dari Fraksi PKS, Amin Ak. (Foto: Dok. Fraksi PKS DPR).

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS, Amin Ak menyebut, upaya diplomasi dagang Indonesia terkait tarif resprokal 32 persen dari Presiden AS Donald Trump, belum bisa disebut gagal.

“Yang tepat, menurut saya, masih belum optimal dalam negosiasinya. Pemerintah Indonesia jangan sampai terjebak dalam pola ‘memberi konsesi tanpa jaminan’. Terlihat jelas, AS sejatinya menggunakan kebijakan tarif sebagai alat geopolitik, bukan semata-mata alat ekonomi,” bebernya di Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Pengenaan tarif resiprokal sebesar 32 persen, menurut Amin, menunjukkan posisi AS ingin menekan Indonesia dalam konteks geopolitik. Untuk itu, tim negosiasi yang dipimpin Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto harus lebih cerdik dalam bernegosiasi dengan AS. “Jangan hanya menawarkan konsesi ekonomi, tetapi juga memastikan adanya jaminan pembukaan pasar AS dan perlindungan terhadap kedaulatan regulasi,” ujar Amin.

Dia mengatakan, pemberlakuan tarif bisa menjadi preseden buruk, di mana Indonesia dipaksa terus memberi sementara AS tetap memegang kendali. Karena itu, dia menegaskan pentingnya pendekatan baru yang mengutamakan kedaulatan nasional dan kepastian timbal balik dalam setiap negosiasi.

“Negosiasi sejauh ini terkesan menunjukkan kita memberikan banyak konsesi tanpa mendapatkan jaminan timbal balik yang setara. Saatnya kita mengubah pola ini,” kata dia.

Wakil Ketua Fraksi PKS itu mengakui bahwa kebijakan tarif tinggi AS ini akan berdampak serius pada berbagai sektor ekonomi Indonesia. “Dampak paling mengkhawatirkan adalah ancaman terhadap 800.000 lapangan pekerjaan di industri tekstil, alas kaki, elektronik, dan kelapa sawit,” terangnya.

Padahal, kata Amin, selama ini neraca perdagangan Indonesia-AS menunjukkan surplus yang cukup besar, mencapai US$16 miliar pada tahun 2024. Untuk menghadapi situasi ini, Amin mengusulkan dalam jangka pendek, pemerintah perlu segera melakukan diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Uni Eropa dan Asia Tengah, serta memberikan insentif fiskal temporer bagi industri yang terdampak.

“Idealnya kita tidak boleh terus bergantung pada satu pasar. Diversifikasi adalah kunci ketahanan ekonomi,” jelasnya.

Untuk jangka menengah, penguatan industri hilir harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak hanya menjadi pengekspor bahan mentah. Koordinasi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Luar Negeri dan BUMN, harus lebih erat, Agar tercipta sinergi kebijakan.

Sedangkan dalam jangka panjang, Amin menekankan perlunya revisi terhadap kerangka hukum perdagangan internasional Indonesia. Diplomasi dagang yang baik bukan hanya mencari jalan damai, tetapi juga harus mampu menghasilkan kesepakatan yang adil dan menguntungkan rakyat Indonesia.

“Kita butuh sistem yang lebih tangguh, termasuk early warning system untuk mengantisipasi berbagai kebijakan proteksionisme dari negara lain,” paparnya.

Topik
Komentar

Komentar