Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Mufti Anam turut menyoroti kasus restoran legendaris ayam Goreng Widuran di Solo, yang baru-baru ini mengaku menjual produk non-halal selama puluhan tahun tanpa mencantumkan informasi kepada konsumen.
Ia menilai kasus ini bukan semata kelalaian, melainkan bentuk kelengahan dalam pengawasan pelabelan produk yang bisa menganggu ekosistem persaingan usaha yang sehat.
“Kami menilai kasus ini tidak dapat disederhanakan sebagai kesalahan komunikasi atau kelalaian belaka. Ini merupakan cerminan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pelabelan produk konsumsi di Indonesia, dan perlu ditindaklanjuti secara serius oleh instansi terkait,” kata Mufti, Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Mufti menyebut Ayam Goreng Widuran memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap transparansi informasi, terlebih restoran tersebut telah beroperasi lebih dari 50 tahun. Menurutnya, praktik usaha yang tidak jujur merugikan pelaku usaha lain yang patuh pada aturan dan etika dagang.
“Label halal maupun non-halal bukan sekadar simbol. Ini menyangkut keyakinan, etika konsumsi, dan hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang jujur tentang apa yang mereka konsumsi,” ucapnya.
“Ketika informasi kehalalan itu disembunyikan dengan sengaja atau tidak, maka ini merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konsumen,” lanjutnya.
Ia menegaskan sistem pengawasan yang lemah berpotensi menciptakan iklim persaingan usaha yang timpang. Dirinya khawatir usaha kuliner lain yang jujur mencantumkan label halal atau non-halal, justru bisa tersisih di pasar oleh pelaku yang tidak transparan namun lebih populer.
Karena itu, Mufti meminta agar stakeholder yang bertanggung jawab untuk memastikan rumah makan mencantumkan keterangan label halal tidak boleh lengah.
Tak hanya itu, menurutnya pemerintah tidak boleh hanya bersikap reaktif, khususnya Kementerian Perdagangan, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Ia juga menyinggung kabar mengenai peristiwa ini pun baru ditindak, usai viral di media sosial. Padahal seharusnya pemerintah aktif dan dapat melakukan preventif.
Selain itu, Mufti menekankan pentingnya etika dalam perdagangan, tidak hanya dalam hal kualitas produk tapi juga dalam keterbukaan informasi.
Lebih lanjut, dia mendesak adanya penjelasan resmi dari kementerian dan lembaga terkait, termasuk melakukan evaluasi atas mekanisme pengawasan yang telah berjalan.
“Jika diperlukan, revisi regulasi yang masih abu-abu demi memperkuat perlindungan konsumen. Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan, bukan sekadar sensasi sesaat,” tandasnya.