Keriuhan soal dugaan patgulipat pengambilalihan BCA oleh Djarum Group belum mereda. Terendus kejanggalan proses pembelian aset yang diduga ada permainan harga, BCA terjual seharga Rp5 triliun, di bawah nilai yang ditetapkan appraisal Rp10 triliun.
Ekonom Yanuar Rizki mengatakan memang proses pengambilalihan ini sarat kejanggalan. Dia mengingatkan, pada 2001 lalu, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sempat melakukan investigasi tetapi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menentukan pemenang tender divestasi BCA di tengah jalan.
“BCA saat itu perusahaan publik, patokan harganya adalah market value (harga bursa). Aturan Bapepam saat itu, tender offer adalah harga rata-rata tertinggi selama 90 hari sebelum masa penawaran,” tuturnya kepada Inilah.com, Jakarta, dikutip Senin (25/8/2025).
Dia mengatakan, saat itu BPPN menjualnya dengan cara strategic placement, maka yang memberikan penawaran harga tidak bisa lebih rendah dari harga 90 hari terakhir. Kejanggalannya tercium di sini. “Saat itu, harga 90 hari itu ditekan turun dan itu yang jadi kontroversinya,” kata dia.
Bapepam sempat mengidentifikasi 14 pemodal yang melakukan transaksi dalam jumlah signifikan terhadap saham BCA melalui 15 perusahaan efek anggota bursa. Pemeriksaan dilakukan karena adanya dugaan pelanggaran atas peraturan perundangan-undangan di bidang pasar modal, Bapepam mengumumkan hasilnya pada 3 Agustus 2001. Pemeriksaan kemudian menyasar 20 perusahaan efek anggota bursa efek.
Pemeriksaan Bapepam tidak hanya meliputi 20 perusahaan efek yang semula terindikasi terlibat dalam pembentukan harga saham BCA, tetapi juga terhadap ke-152 perusahaan efek yang menjadi anggota bursa. Perlu diingat, pembentukan harga secara manipulatif terhadap saham BCA itu dilakukan selama dua periode, periode 15 Mei s/d 12 Juni 2001 dan 13 Juni s/d 29 Juni 2001.
“Terdapat bukti awal yang mengidentifikasi kemungkinan terjadinya manipulasi pasar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan atau Pasal 92 Undang-undang Pasar Modal, yang mengarah pada pembentukan harga saham BCA periode 15 Mei s/d 12 Juni 2001 dan 13 Juni s/d 29 Juni 2001,” jelas Ketua Bapepam Herwidayatmo kala itu.
Herwidayatmo menolak untuk menyebutkan siapa saja ke-14 investor dan ke-15 perusahaan efek yang diduga terlibat dalam pembentukan harga saham BCA tersebut. Ia hanya menyebutkan bahwa para pemodal tersebut meliputi pemodal institusi (korporat) dan perorangan.
Di tengah investigasi, Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta menyatakan bahwa pihaknya telah memilih strategic investor yang akan membeli 30 persen saham BCA dari pemerintah. Sungguh disayangkan bahwa antara Bapepam dan BPPN tidak ada kerja sama untuk menuntaskan kasus ini, sehingga keduanya berjalan sendiri-sendiri. Semestinya, Bapepam bersama-sama dengan BPPN melakukan investigasi mengenai kasus saham BCA.
Kilas Balik BLBI-BCA
Di tengah gemuruh krisis 1997 sampai 1998, BCA yang semula berdiri kokoh pun terguncang. Arus penarikan dana besar-besaran menekan likuiditas, sementara ekspansi kredit yang gegap gempita menjelma bumerang.
Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) turun tangan. BCA berubah status menjadi bank take over (BTO) dan dimasukkan ke dalam program rekapitalisasi serta restrukturisasi. Tahun 1999, rekapitalisasi tuntas. BCA tak lagi sepenuhnya milik Salim Group. Saat itu BPPN menggenggam 92,2 persen sahamnya sebagai ganti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pada 1999, pemerintah berencana menjual saham BCA lewat mekanisme di bursa efek. Harga yang ditawarkan sebesar Rp 1.400 per lembar saham. Namun, saham BCA tersebut ironisnya tidak laku. Barulah tahun 2002 situasi mulai mereda dan Presiden Megawati Soekarnoputri sepakat menjual 51 persen saham BCA kepada publik.
Ketiga nama paling awal bersaing sengit untuk merebutkan saham BCA. Standard Chartered Bank terafiliasi dengan pemerintah Singapura. Lalu, Farallon bermitra dengan keluarga Hartono pemilik Djarum. Sedangkan Bank Mega dimiliki oleh pengusaha Chairul Tanjung
BCA Merespons
Sekretaris Perusahaan BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya membantah informasi yang menyebut pembelian 51 persen BCA hanya Rp5 triliun, disebut juga angka penjualan itu merugikan karena nilai pasar perusahaan Rp117 triliun.
“Angka Rp 117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar,” kata dia dalam keterangan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (20/8/2025).
Dia menjelaskan, nilai pasar sesungguhnya ditentukan oleh harga saham di bursa dikalikan dengan jumlah saham beredar. Sejak melantai di bursa pada tahun 2000, harga saham BCA dibentuk sepenuhnya oleh mekanisme pasar.
“Pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp10 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun. Dengan demikian, nilai akuisisi 51 persen saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” jelasnya.
Ketut menerangkan, tender dilakukan Pemerintah RI melalui BPPN dengan cara transparan dan akuntabel. Dia juga turut meluruskan soal tudingan adanya utang kepada negara sebesar Rp60 triliun.
“Terkait informasi BCA yang memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar. Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku,” tutupnya.
Dorongan agar pemerintah mengambil alih paksa saham BBCA digaungkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinegoro. Ide itu kemudian disambut oleh Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB Ahmad Iman Syukri.
Wacana ini berkaitan dengan masa lalu Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada saat krisis 1998. Peristiwa itu bergulir hingga adanya pelepasan 51 persen saham oleh pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri.
Belakangan, Anggota Komisi III DPR, Abdullah juga mendesak pemerintah menyelesaikan megaskandal BLBI-BCA secara tuntas. Termasuk membongkar dugaan permainan dalam akuisisi 51 persen saham BCA oleh Djarum Group.