Dunia di Ujung Bara: Indonesia Harus Bersiap

Dunia di Ujung Bara: Indonesia Harus Bersiap


Dunia terperanjat oleh aksi militer yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. Puluhan rudal dan bom diarahkan ke lokasi yang diklaim sebagai pusat pengembangan nuklir. Kejadian ini semakin menegaskan krisis etika dan moral dalam kepemimpinan global. AS mengabaikan prinsip multilateral yang menjadi fondasi perdamaian dunia. AS merasa tidak perlu menjelaskan atau mempertanggungjawabkan tindakan militernya, selama sesuai dengan kepentingan strategisnya.

Membiarkan tindakan seperti ini tanpa sanksi internasional akan melemahkan legitimasi sistem hukum global dan menciptakan preseden berbahaya bagi negara-negara lain. Diamnya dunia atas serangan ini bukanlah netralitas, melainkan keterlibatan pasif dalam meruntuhkan tatanan internasional yang telah disepakati bersama.

Hukum internasional digunakan untuk melegitimasi tindakan sepihak mereka. AS dan Israel mencerminkan pola tersebut: menyerang atas nama keamanan global, tetapi menolak tunduk pada mekanisme hukum internasional.

Prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat jelas. Penggunaan kekuatan bersenjata harus mendapat persetujuan Dewan Keamanan atau dilakukan dalam konteks bela diri. Bahkan dalam konteks bela diri, tindakan militer harus tetap dilaporkan ke Dewan Keamanan.

Fasilitas nuklir tidak boleh menjadi target serangan militer. Prinsip nonintervensi dan larangan penggunaan kekuatan bersenjata secara sepihak merupakan bagian dari prinsip hukum internasional yang tidak dapat dikesampingkan. Serangan terhadap Iran tanpa mandat PBB akan memperlemah kepercayaan negara-negara berkembang terhadap netralitas dan keadilan sistem hukum internasional.

Peningkatan serangan terhadap infrastruktur sipil, termasuk fasilitas nuklir, menandakan memburuknya kepatuhan terhadap international humanitarian law (IHL). Tindakan semacam ini dapat mendorong negara-negara lain untuk melakukan pembalasan di luar koridor hukum, menciptakan siklus konflik yang tak terkendali. Ketidakpatuhan terhadap hukum internasional bukan hanya persoalan moral atau legal, tetapi juga ancaman langsung terhadap stabilitas global yang semakin rapuh.

Indonesia dan Bayang-Bayang Geopolitik

Sebagai negara yang menempatkan prinsip “bebas aktif” dalam politik luar negerinya, Indonesia telah mengecam agresi ini. Pemerintah juga telah mengambil langkah cepat mengevakuasi WNI dari wilayah konflik. Namun, tanggung jawab Indonesia tak berhenti pada reaksi diplomatik semata. Krisis geopolitik ini adalah alarm keras bagi seluruh negara berkembang yang selama ini tergantung pada kestabilan global.

Dalam hal energi, misalnya, Indonesia berada dalam posisi sangat rentan. Sejak 2004, Indonesia berubah status dari eksportir menjadi importir minyak. Ketika harga minyak dunia naik akibat konflik Timur Tengah, Indonesia langsung merasakan dampaknya: kenaikan harga BBM, pembengkakan subsidi energi, dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Konflik geopolitik di wilayah energi strategis berdampak eksponensial terhadap ekonomi negara berkembang. Kerapuhan ini diperparah oleh minimnya diversifikasi sumber energi dalam negeri. Meski Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi baru dan terbarukan (EBT), pemanfaatannya masih tergolong rendah. Data menunjukkan, pemanfaatan potensi EBT Indonesia baru mencapai sekitar 12,5 persen dari total potensi yang ada.

Dalam perspektif ekonomi makro, krisis geopolitik dapat memicu capital flight, pelarian modal dari pasar negara berkembang akibat ketidakpastian global. Negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada impor energi dan pembiayaan utang luar negeri akan sangat rentan terhadap penyesuaian pasar. Ketegangan ini bisa menyebabkan pelemahan rupiah, meningkatnya inflasi, dan tekanan terhadap cadangan devisa.

Ketergantungan Indonesia pada energi fosil impor dalam jangka panjang bukan hanya ancaman terhadap stabilitas ekonomi, tetapi juga terhadap kedaulatan nasional. Transisi menuju energi terbarukan bukan sekadar langkah lingkungan, tetapi strategi geopolitik untuk memastikan kebebasan nasional dari tekanan eksternal. Menyikapi krisis global seperti konflik AS–Iran dan dukungan agresif Israel, Indonesia tidak boleh hanya reaktif. Krisis ini harus menjadi momentum untuk mempercepat transisi energi sebagai bentuk pertahanan strategis negara.

Kemandirian Energi

Presiden Prabowo Subianto menyuarakan pentingnya kedaulatan energi nasional. Cetak biru transisi energi nasional harus dijalankan secara ketat dan disiplin, termasuk akselerasi pengembangan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga surya, dan bioenergi.

Ketergantungan negara-negara berkembang pada impor energi fosil adalah “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja saat terjadi krisis global. Jika Indonesia tidak segera beralih ke sistem energi yang mandiri dan berkelanjutan, maka kita akan terus menjadi korban dinamika global.

Negara seperti India dan Brasil telah berhasil menurunkan ketergantungan mereka terhadap impor energi melalui strategi diversifikasi dan efisiensi energi. Indonesia, meskipun memiliki potensi besar di sektor EBT, masih terjebak dalam skema subsidi BBM dan lambannya transisi energi.

Salah satu hambatan utama adalah persoalan tata kelola dan minimnya insentif investasi di sektor energi terbarukan. Transisi energi yang sukses tidak hanya bergantung pada teknologi dan sumber daya, tetapi juga pada institusi yang inklusif dan akuntabel. Di Indonesia, sering kali regulasi berubah-ubah, proses perizinan berbelit, dan masih adanya dominasi energi fosil dalam prioritas kebijakan. Hal ini membuat investor ragu menanamkan modal jangka panjang di sektor EBT.

Penguatan energi domestik juga harus bersifat desentralistik. Pemerataan akses dan kepemilikan energi penting agar transisi tidak hanya dinikmati kalangan atas. Jika transisi energi hanya dimonopoli oleh elite atau korporasi besar, maka risiko ketimpangan energi akan tetap ada, sekalipun telah beralih ke sumber yang lebih hijau.

Dengan semangat kedaulatan energi, pembangunan sektor EBT harus mengintegrasikan aspek keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan pemberdayaan lokal sebagai satu kesatuan strategi nasional.

Agenda kemandirian energi tidak akan berhasil jika sektor ini masih dikuasai oleh segelintir elite dan mafia energi. Sektor energi, terutama dalam proyek-proyek pengadaan dan eksplorasi, menjadi salah satu yang paling rawan korupsi.

Ketimpangan kekuasaan dan ekonomi akan terus mereproduksi oligarki, kecuali ada intervensi institusional yang kuat dan transparan. Reformasi tata kelola energi harus disertai pembukaan ruang partisipasi publik serta pengawasan masyarakat sipil. Praktik rente yang dibiarkan hanya akan membunuh semangat transformasi. Negara tidak boleh memberi toleransi pada penghambat perubahan.

Mitigasi Krisis Global: Strategi Ekonomi dan Sosial

Konflik di Timur Tengah bukan hanya mengguncang harga energi, tetapi juga pasar finansial global. Nilai tukar dolar AS bisa melonjak drastis saat pasar modal global cemas. Hal ini akan memperberat tekanan pada perekonomian Indonesia, termasuk harga impor dan beban utang luar negeri.

Kita juga harus mengantisipasi potensi gejolak sosial akibat kenaikan harga kebutuhan pokok yang erat kaitannya dengan harga energi. Dalam situasi seperti ini, strategi pengamanan sosial perlu disiapkan secara serius. Jaminan sosial, bantuan langsung tunai, dan subsidi yang tepat sasaran menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli rakyat.

Negara yang kuat bukan hanya yang mampu menahan guncangan ekonomi, tetapi juga yang melindungi kelompok paling rentan dari dampaknya. Pandangan ini bisa menjadi pijakan dalam penyusunan kebijakan fiskal dan sosial ke depan.

Indonesia dalam Dunia yang Berubah

Tatanan global saat ini sedang mengalami disrupsi serius. Negara-negara yang dulu menjadi penjamin stabilitas, kini justru menjadi sumber kekacauan. Ketika retorika demokrasi dan perdamaian berubah menjadi dalih untuk menyerang, dunia membutuhkan negara-negara yang berpijak pada prinsip kuat dan komitmen terhadap hukum internasional.

Indonesia harus berada di garda depan dalam upaya menjaga perdamaian dan keadilan global. Namun lebih dari itu, kita juga harus membangun ketahanan dalam negeri. Energi, pangan, dan teknologi adalah tiga pilar kedaulatan yang tidak boleh ditunda.

Krisis ini adalah peringatan. Dunia sedang di ujung bara, dan kita tidak boleh lalai. Dunia tidak runtuh dalam sekejap—ia runtuh karena terlalu lama diabaikan. Maka, kita tak boleh mengabaikan gejala-gejala kehancuran. Kita harus bersiap. Kita harus bangkit.

Komentar