Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono ummukan survei kemiskinan dan ketimpangan Maret 2025 di Jakarta, Jumat (25/7/2025). (Foto: ANTARA/Uyu Septiyati Liman).
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menyoroti Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan tingkat kemiskinan Indonesia mencapai titik terendah dalam dua dekade, yakni 8,47 persen per Maret 2025.
Dia menyebut, sekilas capaian ini tampak menggembirakan. Namun, ironisnya pertumbuhan ekonomi nasional masih tertahan di angka 5 persen.
Dalam teori ekonomi, angka pertumbuhan biasanya mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, kata dia, dalam konteks Indonesia hari ini korelasi itu terlihat lemah. Pertumbuhan 5 persen ini belum menunjukkan peningkatan produktivitas secara luas atau perbaikan menyeluruh terhadap kualitas hidup rakyat.
“Penurunan angka kemiskinan memang layak diapresiasi, tetapi euforia statistik harus diimbangi dengan kesadaran bahwa kesejahteraan sejati tidak lahir dari bantuan sementara, tapi dari peningkatan produktivitas dan perbaikan daya saing,” ujar Syafruddin kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Dia menjelaskan, penurunan kemiskinan lebih menggambarkan dampak dari intervensi kebijakan jangka pendek dari hasil transformasi ekonomi struktural. Hal itu melalui pemerintah yang gencar menggelontorkan bantuan sosial, subsidi energi, serta memperluas program sembako dan transfer tunai.
“Saat inflasi pangan terjaga dan konsumsi rumah tangga disangga stimulus fiskal, kemiskinan memang bisa ditekan. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi berkualitas yang menciptakan pekerjaan produktif, memperluas kesempatan usaha, dan membangun ketahanan ekonomi nasional, tidak terjadi,” kata dia.
“Semua ini akan hadir dari fondasi ekonomi yang kokoh. Tanpa itu, kesejahteraan hanya menjadi fatamorgana di tengah angka-angka makro yang menyesatkan,” imbuh Syafruddin.
Dia mengungkapkan, penurunan kemiskinan bukan hasil dari lonjakan daya saing sektor riil, atau ekspansi industri berbasis teknologi. Namun berasal dari kenaikan upah minimum dan lonjakan pekerjaan temporer, akibat proyek-proyek infrastruktur dan pemilu yang turut membantu, Hanya saja, efeknya cenderung sementara.
“Selama struktur ekonomi tidak berubah, maka penurunan kemiskinan cenderung rapuh. Bila tekanan eksternal kembali muncul seperti gejolak harga pangan global atau depresiasi rupiah maka angka kemiskinan sangat mungkin naik kembali,” tegasnya.
Dia menyampaikan, pemerintah perlu membenahi cara pandang terhadap kesejahteraan. Selain fokus pada PDB (Produk Domestik Bruto), pemerintah juga harus memperhatikan indikator yang lebih reflektif seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pekerjaan yang layak.
“Dalam konteks perdagangan internasional, Indonesia juga perlu beralih dari mengejar surplus semu menuju strategi ekspor berbasis nilai tambah, kemandirian pangan, dan diversifikasi mitra dagang. Kita tidak boleh bergantung pada pasar tunggal dengan tekanan tarif agresif seperti AS,” ucapnya.
Pada hari yang sama, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono telah merilis data tingkat kemiskinan di Indonesia pada Maret 2025, mengalami penurunan menjadi 8,47 persen dari total penduduk. Artinya, sebanyak 23,85 juta penduduk Indonesia masih hidup bergelimang penderitaan.
Namun, masih kata Ateng, angka itu adalah yang terbaik sepanjang 20 tahun atau dua dekade terakhir. “Angka kemiskinan di tahun 2025 ini merupakan terendah ya selama dua dekade terakhir,” kata Ateng.
Sejak Februari 2005 sampai Maret 2025, kata dia, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan dari 35,10 juta penduduk (17,75 persen), menjadi 23,85 juta penduduk (8,47 persen).
Dan, sejak September 2021, persentase penduduk miskin di Indonesia berhasil ditekan di bawah 10 persen, bahkan bisa di bawah 9 persen sejak September 2024.