Ekonom hingga Chatib Basri Sebut Deindustrialisasi Dini, Menperin Agus Masih Saja Ngotot Bantah

Ekonom hingga Chatib Basri Sebut Deindustrialisasi Dini, Menperin Agus Masih Saja Ngotot Bantah

Iwan Medium.jpeg

Senin, 21 Juli 2025 – 13:19 WIB

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. (Foto: antara)

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. (Foto: antara)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Banyak ekonom hingga eks Menteri Keuangan (Menkeu) era SBY yang kini menjadi anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri menyebut adanya deindustrialisasi dini.

Namun semuanya kajian itu tak masuk ke kuping Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita. Masih saja ngotot tidak ada deindustrilisasi di Indonesia.

Dia bilang, Indonesia tidak pernah mengalami fase deindustrialisasi, buktinya, kinerja perdagangan industri manufaktur terus mencatatkan surplus. Dimana, nilai ekspor manufaktur konsisten menyumbang angka yang cukup jumbo.

Sepanjang 2024, misalnya, nilai ekspor manufaktur menembus US$196,5 miliar atau berkontribusi 74,25 persen terhadap total ekspor. Angka itu tumbuh 5,11 persen ketimbang 2023 dengan senilai US$186,9 miliar.

Sedangkan triwulan I-2025, sektor industri manufaktur memperoleh surplus perdagangan US$10,4 miliar. Di mana, nilai ekspor manufaktur tercatat US$52,9 miliar, atau 79,4 persen dari total ekspor nasional.

“Artinya, Indonesia tidak pernah terjadi dalam fase deindustrialisasi. Hal ini sekaligus menepis dan mematahkan analisa dari siapapun yang mengatakan bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Indonesia,” kata Menperin Agus, Jakarta, dikutip Senin (21/7/2025).

Sekitar dua bulan lalu, Chatib justru bicara sebaliknya. Dia buka-bukaan penyebab deindustrialisasi dini yang mendera Indonesia. Deindustrialisasi dini biasanya tergambar dari semakin minimnya kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB).

Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kontribsi manufaktur, sebetulnya memang terus merosot terhadap PDB.

Pada 2014, misalnya, kontribusi manufaktur terhadap PDB angkanya mencapai 21,02 persen. Namun pada 2019, turun menjadi 19,7 persen. Dan pada 2023 kian ‘ndelosor’ ke level 18,67 persen. Namun, pada 2024 agak naik menjadi 19,13 persen.

“Ada beberapa alasan mengenai kita mengalami yang disebut sebagai premature deindustrialization,” kata Chatib saat memberikan Kuliah Umum di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Jakarta, dikutip Kamis (15/5/2025).

Chatib mengatakan, penyebab pertama deindustrialisasi dini, bisa jadi karena Indonesia sempat terjangkit dutch disease ringan. Penyakit Belanda ini terjadi ketika sebuah negara melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alamnya secara mentahan.

“Itu di dalam tahun 2000 sampai dengan 2011 kita itu mengalami yang namanya mild dutch disease, mild dutch disease kenapa, karena ada commodity boom,” tegasnya.

Saat kondisi itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan atau apresiasi hebat, sesuai dengan ciri-ciri dutch disease saat melanda suatu negara.

Akibatnya, Chatib mengatakan, kinerja ekspor industri manufaktur otomatis loyo karena tipe industri ini bukan sebagai pembuat harga atau price maker, sebagaimana industri ekstraktif. Industri manufaktur kata Chatib biasanya hanya bisa berperan sebagai price taker.

Hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI), hasilnya pun senada dengan Chatib. Sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja, menghadapi tantangan deindustrialisasi prematur. Yakni, anjloknya kontribusi terhadap PDB, tenaga kerja yang menurun dan produktivitas yang stagnan.

Di sisi lain, sektor pertanian masih menghadapi berbagai tantangan, meliputi ketersediaan input, teknologi, logistik dan pembiayaan, serta persaingan dengan komoditas impor dan praktek perdagangan internasional yang tidak sehat.

Hal ini menyebabkan perlambatan ekonomi, yang diakibatkan oleh tergerusnya daya beli, menyusutnya kelas menengah dan menurunnya produktivitas sektoral.

Bahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025, dari 216,79 juta penduduk usia kerja di Tanah Air, 153,05 juta atau sekitar 70,60 persen merupakan angkatan kerja.

Dari 153,05 juta angkatan kerja sekitar 145,77 juta atau sekitar 95,24 persen, merupakan pekerja. Walaupun angka pekerja terlihat cukup tinggi, sekitar 96,48 juta atau 66,19 persen merupakan pekerja penuh dan sementara sedang tidak bekerja serta 49,29 juta orang atau sekitar 33,81 persen bukan pekerja penuh.

Tim riset memiliki beberapa saran strategi yang dapat dijalankan oleh pemerintah. Seperti kebijakan moneter dan fiskal ekspansif.
 

Topik
Komentar

Komentar