Ekonom Kritisi Menteri Bahlil Buka Tambang untuk AS, Keruk Harta Karun di Indonesia

Ekonom Kritisi Menteri Bahlil Buka Tambang untuk AS, Keruk Harta Karun di Indonesia


Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara melotarkan kritik menohok terkait rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia membuka tambang untuk investor Amerika Serikat (AS) menggali mineral kritis di Indonesia.

Kebijakan Menteri Bahlil ini, merespons keinginan Presiden AS, Donald Trump yang tercantum dalam klausul kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19 persen.

Bhima mengatakan, keinginan AS yang meminta bebas tarif untuk mengakses mineral kritis dinilai berisiko untuk Indonesia. Alasannya, hal tersebut bertentangan dengan prinsip pemerintah yang mendorong hilirisasi.

“Jadi yang dimaksud AS dalam keterangan gedung putih adalah free akses ya. Untuk mengambil konsentrat atau biji nikel, tembaga, dari seluruh mineral kritis yang ada di Indonesia. Jadi bukan maksud AS atau Trump, bukan tambangnya saja. Bisa jadi mereka inginkan Indonesia mencabut aturan ekspor minearl mentah, agar dibuka lagi,” papar Bhima saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

“Nah ini kan berisiko tinggi bagi kepentingan hilirisasi Indonesia yang kelihatannya berbeda, sementara pemerintah Indonesia bilang bahwa perlakukan semua negara sama. Ya enggak bisa,” kata Bhima melanjutkan.

Diketahui, kesepakatan dagang antara Indonesia dengan AS, pemerintahan Trump siap mendatangkan investor ke Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan seluruh negara yang tertarik mengakses kekayaan alam alias harta karun di RI.

Bhima menyebut, kesepakatan tersebut bertentangan dengan prinsip hilirisasi dan akan menimbulkan kekecewaan jika pelonggaran ekspor biji mentah dilakukan ke negeri Paman Sam.

Seharusnya, kata Bhima, Menteri Bahlil memberikan opsi kepada AS untuk membangun industri smelter di Indonesia. Bukan malah mendorong pemerintah Indonesia membuka kembali izin ekspor mineral mentah yang pernah disetop di era Presiden Jokowi.

“Jadi bukan dikasih tambangnya tapi disuruh ngurus smelternya karena tambang itu sudah terlalu ekslansif dan menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian di masyarakat,” ungkapnya.

Masalahnya, kata Bhima, saat ini, cukup banyak investasi asing yang membangun smeler nikel di Indonesia. “Kalau mau mudah mengakses mineral kritis, AS harusnya kerja sama dengan perusahan China atau local eksisting sektor smelter yang sudah ada di Indonesia,” ucapnya.
    
 

Komentar