Ekonom Paramadina: Beda Nasib Transisi Jokowi dan Prabowo, 4 Krisis di Depan Mata

Ekonom Paramadina: Beda Nasib Transisi Jokowi dan Prabowo, 4 Krisis di Depan Mata


Jelang transisi kepemimpinan pada 20 Oktober 2024, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyebut Prabowo diwarisi ekonomi sulit. Empat potensi krisis di depan mata.

“Pak Jokowi lebih beruntung karena diwarisi ekonomi solid oleh Pak SBY,” kata Wijayanto dalam diskusi publik secara daring di Jakarta, dikutip Sabtu (13/7/2024).

Kata Wijayanto, ibarat mobil, SBY mewarisi interior harum, bensin dan e-toll penuh, mesin bagus, oli dan ban baru. “Saya kira, Prabowo tidak akan bisa menikmati masa bulan madu. Begitu dilantik, dia harus selesaikan banyak masalah berat,” kata Wijayanto.

Apalagi, kata dia, saat ini, perekonomian Indonesia memiliki 4 potensi krisis nan serius. Pertama, krisis fiskal yang ditunjukkan debt service ratio atau kemampuan bayar utang yang cukup tinggi.

“Anggaran untuk bayar utang (pokok dan cicilan) dibanding total penerimaan negara pada 2025, mencapai 43,4 persen. Artinya, nyaris 50 persen pendapatan negara untuk bayar utang. Kita ini sudah terjebak dalam jeratan utang,” kata dia.

Kedua, lanjut Wijayanto, krisis industri. Peran industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB), terus melemah.

“Turun dari 22 menjadi 18 persen. Banyak pengusaha Indonesia mengelh karena tidak ada proteksi dari pemerintah. Mereka lebih tutup pabrik dan jadi agen produk China. Banyak nama-nama besar pengusaha cerita itu ke saya,” lanjutnya.

Ketiga, kata Wija, sapaan akrabnya, Badan pusat Statistik (BPS) menyebut adanya 10 juta Gen-Z Indonesia menganggur. Sebelum Jokowi berkuasa, jumlah pekerja informal hanya 40 persen. Saat ini angkanya meledak hingga 60-70 persen.

“Artinya apa? Indonesia gagal memanfaatkan bonus demografi. Sektor informal itu sebenarnya pengangguran yang coba-coba beraktivitas untuk mendapatkan penghasilan,” ungkapnya.  

Keempat, lanjutnya, krisis rupiah. Pernyataan sejumlah menteri yang menyebut pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS, saat ini sudah di atas Rp16.000 per dolar AS, dampak dari penguatan mata uang AS secara global, sangat menyesatkan.

“Atau pelemahan upiah karena krisis global juga menyesatkan. Setahun terakhir, rupiah melemah terhadap 81,28 persen mata uang dunia. Itu data Juli 2024 secara tahunan (year on year/yoy),” kata mantan Komisaris Indosat itu.

“Kalau rupiah elemah karena krisis global, angkanya tidak 81 persen dong. Palingan 50 persen saja. Saya kira pelemahan rupiah ini masalahnya di perekonomian Indonesia, khususnya menyangkut fundamental dan struktural,” imbuhnya.

Padahal, untuk menopang kurs rupiah terhadap dolar AS segala daya dan upaya dilakukan. termasuk Kementerian Keuangan terus meluncurkan Surat berharga Negara (SBN). Dan, Bank Indonesia (BI) luncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Mata uang Garuda tetap saja letoi. 

 

Komentar