Ekonom: Permendag 8/2024 Bukan Satu-satunya Biang Kerok Bangkrutnya Industri Tekstil dan Sritex

Ekonom: Permendag 8/2024 Bukan Satu-satunya Biang Kerok Bangkrutnya Industri Tekstil dan Sritex

Kamis, 31 Oktober 2024 – 14:41 WIB

Dari total utang Sritex sebesar Rp25,1 triliun, sebanyak Rp9,7 triliun di antaranya berasal dari pinjaman 28 bank. (Foto: Wikimedia Commons/Almuharam)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Pernyataan Iwan S Luminto, pemilik PT Sri rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang menuding Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, biang kerok ambruknya industri tekstil, tidak sepenuhnya benar. Termasuk dianggap sebagai pemicu pailitnya Sritex.

Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus mengatakan, dampak Permendag 8/2024 bisa jadi ada, namun bukan satu-satunya. Masih banyak faktor lain yang menyebabkan kebangkrutan industri tekstil nasional, termasuk Sritex yang konon industri tekstil terbesar di Asia Tenggara.

“Kita perlu melihat latar belakang dari masalah-masalah yang menumpuk di sektor tekstil, termasuk persaingan dengan produk impor murah dan manajemen perusahaan,” kata Firdaus, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

Dia bilang, pengendalian impor memang dapat melindungi produsen dalam negeri, namun juga bisa menjadi tantangan bagi pelaku usaha yang masih bergantung kepada bahan baku impor.

Untuk itu, lanjut Firdaus, seluruh pihak harus melihat kebangkrutan industri tekstil termasuk Sritex, dari perspektif yang lebih luas. Bukan justru menjadikan Permendag 8/2024 sebagai kambing hitam.

Advertisement

Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyebut permasalahan industri tekstil tidak hanya soal regulasi. Namun banyak terkait tantangan lama yang belum terselesaikan. Misalnya, harga energi dan bahan baku yang masih tinggi, berdampak kepada rendahnya daya saing.

Ia menyoroti perlunya subsidi energi atau insentif lain untuk meringankan beban produsen tekstil dalam negeri, agar mampu bersaing lebih baik di pasar global. Hal itu, menurutnya, akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan usaha yang stabil dan berdaya saing tinggi.

Matnur, sapaan akrabnya, menyebut tidak adil jika Permendag 8/2024 dianggap pemicu runtuhnya Sritex. Suka atau tidak, industri tekstil nasional menghadapi banyak tantangan berat, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku.

Di negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi jauh lebih rendah, membuat produknya lebih kompetitif di pasar global. “Pemerintah bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil agar dapat bersaing lebih baik di pasar,” ujar Matnur.

Dia juga menyoroti sulitnya akses bahan baku berkualitas yang dihadapi produsen tekstil dalam negeri. Banyak perusahaan tekstil Indonesia terpaksa mengimpor bahan baku, karena kualitas bahan lokal sering tak memenuhi standar.

Pun demikian, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda (PP) Muhammadiyah, Dedi Irawan menilai, tuduhan Permendag 8/2024 sebagai biang kerok pailitnya Sritex, terlalu mengada-ada. 
Dia bilang, kondisi finansial Sritex sudah bermasalah jauh sebelum Permendag 8 Tahun 2024 diluncurkan.

“Sulit membayangkan perusahaan sebesar Sritex bisa hancur hanya karena peraturan yang baru berumur lima bulan. Ini lebih terkait dengan kesalahan manajemen,” jelasnya.

Asal tahu saja, Permendag 8/2024 adalah revisi dari Permendag 36/2023. Fokus peraturan ini adalah pengendalian impor barang tekstil dengan tujuan melindungi industri dalam negeri dari produk asing yang membanjiri pasar domestik.

Permendag 8/2024 yang berlaku pada Mei 2024, tidak ada kaitannya dengan pailit Sritex yang diputus Pengadilan Niaga Semarang. Sedangkan masalah keuangan atau menggunungnya utang sudah mengganggu Sritex sejak 2021.

Topik

BERITA TERKAIT

Komentar