Ekonomi Makin Sulit, Sampai Kapan Masyarakat Hidup ‘Mantab’ Pak Prabowo?

Ekonomi Makin Sulit, Sampai Kapan Masyarakat Hidup ‘Mantab’ Pak Prabowo?


Jika dahulu kata-kata mutiara ‘Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya’ menjadi motivasi semua orang untuk menabung, maka saat ini hal itu justru menjadi terbalik. Kini masyarakat tidak lagi memikirkan bagaimana cara dan metode mereka menabung, karena beban hidup semakin berat.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan di berbagai sektor. Dampaknya mereka kini tak lagi memiliki pendapatan tetap untuk memenuhi kebutuhan kedepannya.

Sejak tahun 2024, badai PHK semakin besar dan bahkan menyasar ke sektor manufaktur. Padahal sektor tersebut banyak menyerap tenaga kerja khususnya dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Dengan kondisi tersebut, angka pengangguran saat ini sudah menembus 7,28 juta orang atau naik sebesar 1,11 persen pada Februari 2024. Artinya mereka sudah tidak lagi bisa memperoleh penghasilan sehingga harus bertahan hidup dengan berbagai cara.

Salah satu yang paling umum dan banyak dilakukan orang saat ini yakni menggunakan uang simpanan atau makan tabungan (Mantab) mereka untuk menyambung hidup. Langkah ini tak hanya dilakukan oleh para pengangguran saja, tapi para pekerja yang penghasilannya standar dan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Kelompok ini biasanya sering disebut sebagai kelompok pas-pasan.

Namun dengan kondisi perekonomian yang sulit dan ketidakpastian kebijakan pemerintah membuat para pengangguran dan kelompok ‘pas-pasan’ ini harus memutar otak agar bisa bertahan dan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sehingga daya juang mereka nantinya ditentukan oleh seberapa banyak tabungan dan simpanan yang dimilikinya.

Kondisi keuangan setiap masyarakat tentunya berbeda-beda. Jika mereka memiliki dana simpanan yang besar tentunya bisa bertahan lama. Namun jika sebaliknya, mereka ujung-ujungnya harus mencari alternatif lain untuk menambal kebutuhan pokok mereka.

Selain ‘mantab’, masyarakat kini banyak yang mencari dana segar dengan berbagai cara. Salah satunya dengan menggadaikan barang-barang berharga mereka ke Pegadaian. Hal ini terbukti dengan naiknya realisasi pembiayaan PT Pegadaian (Persero) mencapai Rp101,5 triliun hingga semester I-2025. Angka ini melampaui target perusahaan sebesar Rp88,5 triliun atau setara 114,7 persen.

Namun data ini hanya angka resmi dari perusahaan BUMN saja. Sedangkan dari perusahaan pembiayaan swasta lainnya belum diketahui berapa besar pembiayaan mereka kepada masyarakat.

Hidup ‘Mantab’ Bukan Sekedar Lelucon, tapi Bentuk Protes

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam mengkritik sikap pemerintah yang terkesan lamban dalam menangani fenomena ‘Mantab’ ini. Padahal fenomena ini sangat mengkhawatirkan perekonomian Indonesia karena bisa berdampak ke turunnya daya beli masyarakat.

“Saya ingin menegaskan, fenomena ini bukan hanya sindiran, tapi ini warning keras (bagi pemerintah),” katanya kepada inilah.com.

Lebih lanjut, dia menambahkan, munculnya fenomena tersebut menunjukan jika kondisi ekonomi Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. Sehingga jika hal ini terus dibiarkan maka akan semakin memperburuk perekonomian Indonesia di masa depan.

Mufti mengaku khawatir dengan masyarakat yang tidak memiliki simpanan yang cukup untuk bertahan. Sebab nantinya kelompok-kelompok tersebut bisa saja mengambil jalan pintas untuk mendapatkan dana segar seperti lewat pinjaman online (pinjol) ilegal dan sebagainya.

“Kalau ini dibiarkan, mereka akan hidup dari utang,” tegasnya.

Untuk itu, Mufti berharap Pemerintahan Prabowo-Gibran segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah munculnya fenomena-fenomena lain yang berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi.

“Pemerintah juga harus Mantab dalam membuat terobosan. Jangan tunggu sampai rakyat berhenti bercanda (memunculkan fenomena baru), dan mulai bergerak karena merasa ditinggalkan,” imbuhnya.

Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal I 2025 melambat menjadi 4,87 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Data ini juga menunjukkan perekonomian Tanah Air terkontraksi 0,89 persen secara kuartalan.

Banyak faktor yang menyebabkan perekonomian Indonesia melambat atau stagnan. Salah satunya akibat badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dampak perekonomian global.

Selain itu, realisasi pertumbuhan ekonomi secara tahunan tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal I 2024 sebesar 5,11 persen (yoy). Bahkan realisasi ini juga lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,02 persen (yoy). [Ajat/Reyhaanah Asya]

***

Komentar