Di tengah hiruk-pikuk klaim keberhasilan, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada kuartal II-2025 ternyata memicu keraguan, terutama dari media asing.
Alih-alih memuji, beberapa media internasional justru menyoroti keanehan dan anomali di balik angka yang terkesan cemerlang itu. Angka 5,12 persen ini memang di atas ekspektasi, namun apakah itu indikasi keberhasilan atau justru ada masalah di baliknya?
Media asal Singapura, Channel News Asia (CNA), lewat judul liputan Indonesia Q2 GDP growth at 5.12% y/y, beats expectations, mengakui pertumbuhan ini melampaui prediksi Reuters yang hanya 4,80 persen.
Pertumbuhan tercepat sejak kuartal II-2023 ini memang terlihat impresif di atas kertas. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan besar tentang daya tahan dan kualitas pertumbuhan tersebut. Apakah angka ini benar-benar mencerminkan kondisi riil di lapangan?
Skeptisisme serupa datang dari Vietnam Plus dalam laporannya bertajuk Indonesia’s economy grows faster than expected. Media ini mengutip klaim BPS yang menyatakan konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama.
Klaim tersebut terasa janggal jika menilik kondisi daya beli masyarakat yang menurut banyak pihak belum sepenuhnya pulih. Vietnam Plus juga menyoroti peran investasi (PMTB) yang berkontribusi 2,06 persen dan konsumsi pemerintah 0,22 persen.
Namun, seperti yang diungkapkan Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Saleh Husin, ia terkejut dengan pertumbuhan ini. Pertumbuhan yang ‘positif’ ini dianggap aneh mengingat daya beli masyarakat yang lemah dan investasi yang masih gamang menunggu arah kebijakan yang jelas.
Bloomberg, media bisnis terkemuka dari Amerika Serikat (AS), bahkan lebih blak-blakan dalam artikelnya Indonesian Growth Unexpectedly Jumps Despite Weak Lending.
Mereka menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat cepat ini ‘tak terduga’. Mengapa? Karena pertumbuhan ini terjadi di tengah data yang kontradiktif: pertumbuhan pinjaman yang lemah dan PHK besar-besaran di sektor manufaktur.
Bloomberg menggarisbawahi bahwa angka ini melampaui perkiraan survei mereka sendiri yang memprediksi perlambatan menjadi 4,8 persen. Ini menunjukkan adanya anomali data yang patut dipertanyakan.
Dengan sorotan kritis dari media asing, klaim pertumbuhan ekonomi 5,12 persen dari BPS ini tak bisa lagi dianggap sebagai prestasi tanpa cela.
Pertanyaan pun mengemuka: Apakah ini benar-benar pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan? Atau, seperti yang disindir oleh Bloomberg, hanya sebuah kejutan yang tak terduga namun rapuh, yang terjadi di tengah fondasi ekonomi yang sebenarnya sedang rapuh?