Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi angkat bicara soal fenomena rojali alias rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya alias Rohana. Istilah itu mencerminkan realitas ekonomi urban yang menandai gejala struktural seperti melemahnya keberanian konsumsi, terutama di kelas menengah atas.
“Rojali dan Rohana memperlihatkan bahwa krisis ekonomi tidak selalu hadir dalam bentuk PHK massal atau lonjakan harga. Kadang, krisis itu tersembunyi di balik keramaian mal dan antrean di restoran, ketika transaksi yang terjadi tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujar Syafruddin kepada inilah.com, Jakarta, Senin (278/7/2025).
Dia mengatakan, fenomena tersebut menunjukan adanya pergeseran perilaku konsumen yang menjadikan pusat belanja sebagai tempat bersosialisasi dan hiburan, bukan tempat bertransaksi. Konsumen cenderung melihat barang di toko fisik sebelum membelinya secara online. Sehingga kini mall berfungsi sebagai showroom, bukan lagi arena utama untuk berbelanja.
“Data ini mengindikasikan bahwa kekuatan belanja fisik bergeser ke ranah digital, dengan preferensi harga dan kemudahan sebagai faktor pendorong,” kata dia.
Syafruddin mengatakan, pemerintah harus membaca fenomena ini sebagai sinyal bahwa banyak konsumen yang memilih untuk menahan belanja. Hal itu dikarenakan masyarakat membutuhkan jaminan stabilitas harga dan jaminan bahwa belanja mereka berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan jangka panjang.
“Stimulus yang terarah seperti subsidi tepat sasaran dan belanja publik yang memperkuat daya beli rumah tangga dapat membalikkan arah konsumsi Masyarakat,” tegas dia.
Sebelumnya, Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja mengaku, aktivitas pengunjung mal atau ritel modern untuk berbelanja, meredup. Sebagian besar ya itu tadi, kalau tidak bertanya ya hanya sekadar cuci mata.
“Saya kira di pusat perbelanjaan itu kan sifatnya offline. Kalau offline, pasti terjadi interaksi, tawar-menawar, nanya harga dan sebagainya. Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu,” ujar Alphonzus di Jakarta, dikutip Jumat (25/7/2025).
Dia berkelit, keberadaan ‘rohana’ justru mencerminkan peran pusat perbelanjaan dalam arti luas. Bukan sekadar tempat jual beli, melainkan sarana hiburan dan edukasi.
“Fenomena rohana karena salah satunya faktor daripada fungsi pusat belanja. Fungsi pusat belanja itu kan bukan cuma sekedar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya, ya hiburan dan sebagainya. Jadi inilah yang menyebabkan selalu ada fenomena rojali dari waktu ke waktu. Karena tadi, fungsi pusat belanja bukan hanya sekedar belanja,” jelas Alphonzus.
Meski tidak mempermasalahkan kehadiran pengunjung yang hanya bertanya atau melihat-lihat, Alphonzus mengakui, tren ini berdampak kepada performa penjualan tenant di mal.
Ia menyebut, omzet ritel mengalami penurunan akibat pergeseran pola belanja masyarakat. Ketika omzet turun maka penyewa gerai di mal, akan kesulitan membayar sewa. Terpaksalah mereka berhenti jualan di mal.
“Pasti (ada penurunan omzet), karena kan sekarang masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya, atau unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan, pasti. Karena kan tadi, harganya kan belinya cenderung produk-produk yang harganya satuannya murah,” ungkap dia.
Diperkirakan, pertumbuhan pusat belanja secara nasional pada 2025, masih akan positif. Meski tidak sekuat harapan awal. Pertumbuhannya diperkirakan hanya satu digit, atau di bawah 10 persen. Padahal, target pertumbuhan omzet yang semula dipatok pusat perbelanjaan berada di kisaran 20-30 persen.
“APPBI memprediksi tahun 2025 ini tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu. Tumbuhnya, tapi tidak signifikan. Paling single digit. Single digit artinya kurang dari 10 persen. Tapi tetap tumbuh,” katanya.