Gagal Raih WTP, tak Perlu Membayar

Gagal Raih WTP, tak Perlu Membayar


Banyaknya anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang terseret kasus hukum gara-gara kasus dugaan jual-beli opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), harus disudahi. Demi tegaknya citra auditor negara. 

Apa makna WTP? Menurut mantan anggota Panja RUU BPK, Rizal Djalil, berdasarkan International Standard Auditing (ISA) 700 pada paragraph 16, opini WTP adalah opini yang diberikan auditor jika laporan keuangan dibuat dalam segala hal, materialnya sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku.

“Sedangkan menurut UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, secara teknis pada petunjuk teknis: WTP memuat pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi keuangan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintah,” kata Rizal, Jakarta, Rabu (5/6/2024).

Dua puluhan Anggota Panja RUU BPK DPR, tak pernah menyangka pasal 6 yang mengatur tugas dan wewenang BPK menjadi pintu masuk penyelewengan WTP yang membuat gaduh belakangan ini.

Inti dari pasal tersebut, BPK berwenang memeriksa tanggung jawab keuangan dari kementerian, lembaga, pemda, BUMN, BUMD dan semua Institusi yang dibiayai uang negara.

Hasil pemeriksaan BPK dapat berujung opini WTP, WDP (Wajar Dengan Pengecualian), disclaimer, Pemeriksaan Kinerja. Jika dianggap ada indikasi mengarah ke fraud, bisa dilakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

Dalam laporan keuangan Kementerian Lembaga dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara 2022, sebanyak 99 persen memperoleh WTP, hanya 1 persen WDP. Sedangkan dari 542 Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, sebanyak 91 persen mendapat WTP, hanya 8 persen WDP, dan 1 persen disclaimer.

“Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa tata kelola keuangan di Indonesia, sudah mengikuti standar pengelolaan yang baik. Dalam proses mendapatkan opini dari BPK, hanya auditor, pihak yang diperiksa, dan Tuhan yang tahu. Apakah opininya diperoleh secara wajar atau sebaliknya,” kata Rizal.

Secara empiris, lanjutnya, menteri dan kepala daerah tidak perlu terlalu khawatir dengan opini yang diberikan oleh auditor. Periode 2009-2014 dan 2014-2019, Kemendikbud dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah mendapat opini disclaimer 2 kali berturut turut.

Kala itu, kata dia, menterinya menerima secara ikhlas setelah dijelaskan persoalan yang menyebabkan kementeriannya mendapat disclaimer. Intinya, karena tata kelola aset masih bermasalah.

“Setelah ‘dituntun’ BPK serta kerja keras staf kementerian tersebut, akhirnya berhasil memperoleh opini WTP. Tanpa harus bayar satu rupiah pun kepada auditor saat itu,” papar Rizal.

Untuk mencegah terulangnya kehebohan seperti saat ini, kata Rizal, sebenarnya sudah ada Majelis Kode Etik (MKE) di BPK. Beranggotakan internal (beberapa anggota BPK) ditambah pihak luar. Namun, lembaga ini dianggap tidak maksimal dengan berbagai keterbatasan yang ada.

“Perlu dipikirkan, dibentuknya Dewan Kehormatan BPK, (DKPP). Anggotanya bisa dari Komisi XI DPR, sipil, tokoh masyarakat dan profesional yang benar-benar independen dan berintegritas,” pungkasnya. 
 

Komentar