Game Upin & Ipin Universe Ramai Dikecam Gara-Gara Harga Mahal dan Masalah Copyright

Game Upin & Ipin Universe Ramai Dikecam Gara-Gara Harga Mahal dan Masalah Copyright


Setelah menuai kritik keras dari komunitas gamer sejak perilisan Upin & Ipin Universe, pihak Les Copaque akhirnya buka suara. Namun, bukannya meredakan kontroversi, klarifikasi yang mereka sampaikan justru memantik gelombang cibiran baru dari publik, terutama terkait masalah hak cipta, promosi konten, harga game yang dinilai tidak masuk akal, serta tuduhan pelanggaran hak tenaga kerja terhadap studio pengembang.

Dalam sesi tanya jawab yang diwakili oleh tiga petinggi Les Copaque — Nur Naquyah Burhanuddin (Creative Content Director), Ahmad Razuri (Pengarah Kreatif), dan Khairul Aimran (Creative Director) — sejumlah isu utama dibahas, meski jawaban mereka justru dinilai tidak menjawab keresahan komunitas.

Masalah Hak Cipta Musik: Kreator Diminta Matikan Musik Sendiri

Salah satu isu krusial adalah penggunaan musik berhak cipta dalam game yang mengakibatkan kreator konten tidak bisa memonetisasi video mereka di YouTube maupun platform lain. Les Copaque menyatakan bahwa klaim copyright datang otomatis dari penerbit musik, dan bahkan video milik mereka sendiri turut terkena dampaknya.

Alih-alih menyediakan mode bebas copyright seperti di game WWE 2K, mereka justru menyarankan kreator untuk mematikan musik dalam game saat melakukan siaran atau merekam konten. Praktik ini dinilai mengurangi pengalaman bermain, terlebih tidak ada peringatan di awal game.

Klip Windah Basudara Digunakan untuk Promosi Tanpa Komunikasi?

Isu lain yang memicu kemarahan netizen adalah penggunaan klip milik YouTuber Windah Basudara sebagai bagian dari materi promosi tanpa izin atau komunikasi terlebih dahulu. Pihak Les Copaque berdalih bahwa klip itu digunakan sebagai bentuk apresiasi dan selebrasi karena Windah telah memainkan game tersebut.

Namun, netizen melihatnya berbeda: Windah tak hanya dirugikan karena video-nya terkena copyright, tapi juga klipnya dimanfaatkan untuk pemasaran tanpa kompensasi. Publik menilai hal ini sebagai tindakan tidak profesional dan mencederai hubungan dengan komunitas kreator.

Harga Fantastis, Les Copaque: “Itu Normal”

Kritik paling ramai muncul dari harga game yang dipatok Rp 579.000–Rp 654.000 di Indonesia, atau sekitar RM170–RM188 di Malaysia. Untuk game keluarga dengan kualitas grafis dan gameplay sederhana, harga ini dinilai terlalu tinggi.

Namun dalam klarifikasi, pihak Les Copaque menganggap harga tersebut masih “normal”, tanpa menjelaskan alasan logis di balik keputusan itu. Hal ini memicu reaksi keras dari komunitas gamer Asia Tenggara yang merasa bahwa game lokal seharusnya disesuaikan dengan daya beli pasar regional.

Isu Tidak Membayar Gaji: Les Copaque Bantah, Netizen Ragu

Isu terakhir menyangkut tuduhan bahwa Streamline Studios, selaku pengembang Upin & Ipin Universe, tidak membayar gaji karyawannya selama berbulan-bulan. Les Copaque membantah keras, menyebut tuduhan itu sebagai hoax dan menegaskan mereka telah mengucurkan dana 15 juta Ringgit untuk pengembangan selama tiga tahun.

Namun, laporan media dan pernyataan dari sumber internal Streamline menyebutkan adanya penunggakan gaji, memunculkan kecurigaan publik terhadap transparansi kedua belah pihak.

Respons Gamers: “Mau Dukung Lokal, Tapi Kecewa Total”

Di berbagai platform seperti Steam dan PlayStation Store, game ini dibanjiri ulasan bintang tiga dan komentar negatif. Mayoritas menyoroti ketimpangan antara harga dan kualitas game. Beberapa bahkan menyerukan boikot terhadap game ini, sambil tetap menyayangkan bahwa potensi besar dari franchise Upin & Ipin gagal dieksekusi secara pantas.

“Sebagai orang Malaysia, saya ingin dukung game ini. Tapi harga dan kualitasnya jauh dari harapan,” tulis seorang pengguna Steam bernama Sabri. Yang lain, dengan nama My Name Is, menyebut game ini layak dijual hanya RM100, bukan hampir dua kali lipatnya.

Meski Upin & Ipin Universe dirancang sebagai game ramah keluarga tanpa mikrotransaksi dan kekerasan, kontroversi yang membelitnya justru memperlihatkan tantangan besar dalam pengelolaan produk digital lokal yang berhadapan dengan ekspektasi global.

Komentar