Gara-gara Resentralisasi, Pakar: Muncul Gaduh Tambang Nikel Raja Ampat dan Sengketa 4 Pulau

Gara-gara Resentralisasi, Pakar: Muncul Gaduh Tambang Nikel Raja Ampat dan Sengketa 4 Pulau


Di balik gaduh tambang nikel di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya dan upaya pencaplokan 4 pulau milik Aceh oleh Pemprov Sumatra Utara (Sumut), diduga kuat ada peroalan ekonomi.  

Hal itu mengemuka dalam sharing session, acara Reuni Akbar Jurnalis Alumni Koran Merdeka dan Rakyat Merdeka di Jakarta, dikutip Jumat (27/6/2025). Saat ini, pemerintah menghadapi tantangan serius dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah.

“Suka atau tidak, harus diakui telah terjadi resentralisasi yang menyunat kewenangan pemerintah daerah, khususnya dalam mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah,” papar Selamat Ginting, pakar ekonomi politik dari Universitas Nasional (Unas) itu.

Selanjutnya, Selamat menyebut kasus tambang nikel di Raja Ampat serta sengketa empat pulau di Aceh yang menimbulkan kegaduhan dahsyat, merupakan bukti konkret dari praktik resentralisasi.

Di mana, praktik resentralisasi ini bermakna proses mengembalikan kekuasaan dan wewenang yang semula berada di tangan pemerintah daerah, bergeser ke pusat.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengecil setelah UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda, serta UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, diberlakukan.

“Sejak 2022, PAD susut menjadi 30 persen dari total pendapatan daerah. Beda jauh dengan 2014, PAD masih sebesar 40 persen,” beber mantan jurnalis dari Koran Merdeka itu.

Pola manajemen negara bernama resentralisasi ini, menurut Selamat, sangat berpotensi memunculkan kelompok kepentingan di sekeliling pengambil keputusan. Apakah itu menteri, kepala badan hingga presiden.

“Semakin resentralisasi sebuah negara, semakin besar potensi penyalahgunaan wewenang dan praktik oligarkinya,” pungkas Selamat.

Pandangan senada disampaikan Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Tirtayasa (Untirta), Yoki Yusanto, mengecilnya kewenangan daerah menunjukkan praktik resentralisasi nyata adanya. Di mana, peran pemerintah pusat mendominasi seperti masa Orde Baru (Orba).

“Hal ini menyebabkan pemerintah daerah semakin sulit untuk mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah dengan efektif,” beber Yoki yang pernah mengabdi di Koran Rakyat Merdeka itu.

Padahal, lanjut pria humoris itu, jika daerah diberi kewenangan yang kuat, membuka peluang untuk memajukan daerahnya. Selain itu, munculnya calon pemimpin nasional dari daerah, semakin terbuka.

“Jika daerah maju, maka Indonesia akan maju juga. Kemajuan daerah akan berdampak positif pada perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.

Hanya saja, menurut dia, memberikan kewenangan kepada daerah, bukanlah perkara mudah. Masih banyak pejabat di pusat yang memiliki ego sektoral yang kuat. Mereka masih belum ikhlas untuk melepas berbagai kewenangan ke daerah.

Sementara, Teguh Santosa, alumni Koran Rakyat Merdeka yang kini menjabat sebagai Direktur Great Institute, menyebut, peran yang lebih besar membuka peluang bagi kemajuan daerah. Kalau itu terjadi, memudahkan para pemimpin di level nasional untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

“Dengan pemerintahan yang lebih desentralisasi, daerah akan dapat mengelola sendiri sumber daya alam dan keuangan daerah, sehingga meningkatkan kemandirian dan kemajuan daerah,” ucap Teguh.

Namun, lanjut Teguh, jangan sampai peran besar yang diberikan kepada daerah justru menciptakan “raja-raja” kecil yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri.

“Di sinilah pentingnya pengawasan dari semua pihak, agar pengelolaan sumber daya alam dan keuangan daerah lebih transparan dan akuntabel,” sarannya.

Mendengar paparan cerdas dari ketiga narasumber tadi, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan tak tahan untuk buka suara.

Dia mengingatkan pentingnya posisi media sebagai ‘pengawal’ tata kelola pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

“Media massa adalah salah satu pilar demokrasi yang memungkinkan berjalannya roda pemerintahan secara transparan, governance, dan bertanggung jawab,” pungkasnya.

Dalam acara ini, hadir lebih dari 100 jurnalis alumni kedua koran politik nasional, serta anak usahanya. Termasuk, pendiri Jawa Pos Dahlan Iskan yang pernah menjabat Menteri BUMN di era Presiden SBY.

Asal tahu saja, Dahlan sempat dipasrahi Koran Merdeka oleh sang pendiri, BM Diah. Ketika BM Diah meninggal dunia, anak-anaknya ingin menguasai Koran Merdeka yang maju pesat.

Merasa tidak cocok, Dahlan memilih untuk mengundurkan diri. Ternyata, Dahlan tak sendiri. Cukup banyak karyawan eks Koran Merdeka yang mengikutinya. Selanjutnya, mereka mendirikan Koran Rakyat Merdeka yang hidup hingga kini. Beda nasib dengan Koran Merdeka yang sudah lama mati.  

 

 

Komentar