Pada era pemerintahan Presiden Prabowo sekarang, ruang bagi perwira TNI dan Polri dalam birokrasi sipil semakin terbuka lebar. Salah satunya berkat terbitnya regulasi, atau lebih tepatnya revisi UU TNI (2004), terdapat pasal yang memperluas penempatan perwira TNI pada jabatan di kementerian dan lembaga pemerintahan.
Melalui revisi regulasi tersebut, Presiden Prabowo memiliki ruang nyaris tanpa batas, untuk menempatkan anggota TNI (utamanya perwira) di birokrasi sipil.
Regulasi ini diharapkan bisa sedikit meredakan rivalitas anggota TNI dan Polri. Pada fase sebelumnya, terkesan perwira Polri lebih masif dalam menempati posisi di lembaga sipil. Sebagaimana terlihat di lapangan, ada beberapa lembaga negara yang secara tradisional selalu dipimpin perwira tinggi Polri, seperti BNPT dan KPK.
Dengan adanya regulasi tersebut, yang dituntut dari perwira adalah kompetensi dan integritas, tanpa memandang latar belakang perwira, entah itu dari TNI atau Polri.
Munculnya Perwira Intelektual
Salah satu ukuran kompetensi adalah latar belakang pendidikan. Bila latar belakang pendidikan seorang perwira firm, tentu penerimaan publik akan lebih baik. Tren perwira intelektual sudah dimulai sejak SBY (lulusan terbaik Akmil 1973) untuk TNI, dan untuk Polri, salah satu yang ikonik adalah Jenderal Tito Karnavian (lulusan terbaik Akpol 1987, kini Mendagri). Menjelang dilantik sebagai Kepala BNPT tempo hari, Tito baru saja menyelesaikan program doktoralnya pada sebuah perguruan tinggi terkemuka di Singapura.
Dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni, seorang perwira (utamanya) Polri akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan, di mana pun dia ditempatkan, berdasarkan asumsi bahwa Polri sejatinya lembaga “semi sipil”, kecuali satuan Brimob, yang merupakan unsur tempur Polri.
Bila perwira Polri secara umum berpendidikan baik dan kompeten, hal itu selaras dengan perkembangan terkini, ketika Generasi Z dan Generasi Alpha, rata-rata pendidikan dan kompetensinya juga baik.
Bahkan Generasi Z sebagian sudah ada yang masuk pada level penentu kebijakan di lembaga negara maupun swasta, sehingga acapkali berkelindan dengan perwira menengah (pamen) Polri, yang setidaknya sudah lulus PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian), dengan demikian komunikasi para pihak bisa berjalan lancar.

Polisi berwajah sipil selain sebagai paradigma, juga merupakan tujuan dari reformasi kepolisian. Pada dasarnya proses reformasi dimaksud tidak bisa dijalankan secara parsial, tetapi secara berkelanjutan. Sehingga akan terjadi percepatan dalam mewujudkan polisi sipil, yang dicirikan dengan transparansi, akuntabilitas, dan konsisten terhadap supremasi hukum.
Dan untuk mencapai pemahaman atau kesadaran seperti ini, wawasan dan intelektualitas seorang perwira Polri menjadi krusial.
Polri sedang berproses menuju integrasi dengan sistem demokratis, ketika Polri sebagai institusi yang terlibat dalam diseminasi nilai-nilai sipil. Pendekatan atau kecenderungan represif, segera bertransformasi pada pendekatan sipil dalam koridor demokratis.
Sejalan konteks global bahwa transformasi kepolisian di sejumlah negara, sudah banyak menerapkan apa yang secara konseptual disebut sebagai democratic policing (pemolisian demokratis).
Untuk menjaga tren positif citra Polri, salah satunya Polri bisa terus melanjutkan penguatan kapasitas intelektual dan kompetensi segenap perwiranya, melalui pendidikan berkelanjutan.
Termasuk dalam memahami tindak pidana siber, konsep HAM, diskresi anggota kepolisian, dan seterusnya, dibutuhkan pemahaman yang berkelanjutan pula, itu sebabnya lembaga pendidikan menjadi penting.
Akpol 1993 dan Jejak Intelektualnya
Dalam perkembangannya kemudian, seorang perwira Polri yang memiliki minat studi lanjut, bisa menimba ilmu di kampus umum, seperti yang terjadi baru-baru ini, ketika Irjen Alexander Sabar (Akpol 1996) lulus ujian doktor dalam bidang komunikasi dari FISIP UI.
Kompetensi Irjen Alexander Sabar match dengan posisi saat ini sebagai Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital di bawah Kementerian Komunikasi dan Digital.
Munculnya perwira intelektual Polri adalah sebuah keniscayaan, yang keahlian dan kompetensinya bisa berkontribusi bagi lembaga negara mana pun. Perhatian besar publik terhadap kinerja kepolisian, merupakan sinyal sejatinya Polri masih memperoleh simpati rakyat. Publik bisa menyaksikan sendiri, bagaimana dalam mengungkap sebuah kasus pidana misalnya, anggota kepolisian memakai metode scientific.
Sudah santer disebut-sebut bahwa kandidat KSAD dan Kapolri berikutnya berasal dari generasi yang sama, yakni yang lulus sebagai perwira pada tahun 1993. Kode bakal tampilnya generasi 1993 sudah dimulai dari KSAU saat ini, yaitu Marsekal M. Tonny Harjono, yang merupakan lulusan AAU 1993.
Seandainya benar kabar tersebut, sejumlah lulusan Akpol 1993 dan Akmil 1993, beberapa sudah mencapai gelar doktor, sesuai dengan asumsi perwira intelektual di atas.
Pemolisian Kerumunan dan Sumbangan Pemikiran
Salah satu alumni Akmil 1993 yang sudah mencapai derajat doktor adalah Letjen TNI Rui Fernando Palmeiras Duarte (Irjen Kemhan RI), yang mempertahankan disertasinya di Unhan beberapa waktu lalu. Bila yang menjadi KSAD dan Kapolri dari generasi yang sama (1993), tentu akan memiliki nilai lebih, kedua orang nomor satu di matra masing-masing diharapkan bisa mereduksi problem rivalitas antara anggota AD dan Polri, yang telah menjadi masalah laten.

Berbasis penelusuran dari sumber terbuka, lulusan Akpol 1993 yang sudah mencapai doktor antara lain Kombes Pol. Bernard Sibarani, Brigjen Pol. Bakharudin Muhammad Syah, Brigjen Pol. Agustri Heriyanto, Brigjen Pol. Helmi Kwarta Kusuma Putra Rauf, Irjen Pol. Rudi Darmoko, Irjen Pol. Andry Wibowo, Irjen Pol. Jayadi. Seandainya ada tambahan nama, nanti data bisa di-update lagi, seperti Brigjen Pol. Toni Ariadi Effendi yang baru sekitar seminggu lalu meraih doktor.
Nama lain yang patut disebut adalah Irjen Pol. Andry Wibowo (Analis Kebijakan Utama Kajian dan Pengembangan Lemdiklat Polri), yang sedang menyusun disertasi kedua di UI.
Disertasi pertama dipertahankan di PTIK, dengan tema Pemolisian Kerumunan (Crowd Policing). Andry tipikal perwira intelektual, yang mengingatkan kita pada sosok Letjen Sayidiman (MA Yogya 1948) atau Kombes Anton Tabah, yang sangat aktif menulis di media massa.
Gagasan Andry tentang crowd policing merupakan refleksi atas penugasannya selama ini, baik saat bertugas sebagai reserse maupun kewilayahan (utamanya Kapolres Jakarta Timur).
Ia membahas isu aktual, soal menjamurnya aktivitas masyarakat yang berkaitan dengan kerumunan massa sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah, perumusan undang-undang, dan pemilihan umum.
Andry memberikan solusi, tentang diperlukannya standar operasionalisasi pemolisian dalam bentuk crowd control yang dimulai dari tindakan pemolisian yang lunak (soft policing) hingga upaya pemolisian yang tegas dan kuat (hard policing).
Hal ini patut menjadi bahan pertimbangan bersama, sebagai upaya mengantisipasi keamanan negara. Dalam perkiraan Andry, model politik pengerahan massa masih akan terjadi, sebagai dampak hampir tiga dasawarsa perjalanan reformasi.