Para guru besar dari berbagai Fakultas Kedokteran di Indonesia kembali menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap kebijakan kesehatan nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Ri Budi Gunadi saat ini.
Guru besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan pihaknya menilai kebijakan yang diambil Menkes Budi jauh dari prinsip ilmiah, etika, dan keselamatan pasien.
Dalam orasi ilmiahnya yang digelar di Gedung FK UI, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025) Prof Sulis menyampaikan, beberapa persoalan lain dari kebijakan Budi selama bulan Desember 2024 sampai Mei 2025.
Persoalan itu sudah diidentifikasi dan didiskusikan oleh para dokter dan profesi kesehatan antar universitas.
“Yang pertama, pelemahan peran organisasi dokter spesialis. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/1581/2024, nampak adanya pembatasan kewenangan kolegium dokter, yang selama ini menetapkan standar pendidikan dan kompetensi dokter spesialis,” kata Sulis.
“Dalam hal ini nampaknya Menteri Kesehatan juga banyak mengambil alih urusan profesi kedokteran dalam urusan registrasi STR, SIP dan kompetensi yang seharusnya dikelola bersama organisasi dokter,” sambungnya.
Kemudian, guru besar juga menyoroti soal pengaturan sendiri pendidikan dokter spesialis. Melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 14 Tahun 2024, ucap Sulis Menkes Budi nampaknya ingin agar pendidikan dokter spesialis lebih dikendalikan oleh rumah sakit pemerintah, bukan universitas.
“Padahal pendidikan kedokteran berpusat pada tiga entitas yang tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu sama lain, yaitu fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan dan kolegium,” jelas Sulis.
Masalah lainnya yakni soal pemindahan dokter atas nama penghilangan sentimen almamaterisme. Sulis menyoroti Menkes Budi yang tidak memberikan penjelasan yang transparan tentang alasan memindahkan para dokter ke universitas atau rumah sakit yang berbeda, kecuali membicarakannya melalui media masa.
“Bukankah seharusnya menjadi otonomi dari setiap kampus dan rumah sakit untuk menjadi center of excellence dalam bidang kekhususannya masing-masing. Dalam hal ini seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah mendorong terjadinya kolaborasi keilmuan antar dokter dari universitas dan rumah sakit yang berbeda. Kolaborasi ini sangat dibutuhkan karena laboratorium dan peralatannya bisa dipakai bersama, tidak mubazir seperti yang terjadi saat ini, dan sharing pengetahuan dan pengalaman bisa semakin intensif terjadi di kalangan para ahli,” tuturnya.
Permasalahan lainnya, tambah Sulis, yakni Menkes Budi hanya fokus pada layanan dan melepaskannya dari soal perencanaan pendidikan, dan riset bersama fakultas kedokteran.
“Hal ini tentu mengingkari esensi dari pendidikanyang tidak bisa dipisahkan dari layanan kesehatan. Kita membutuhkan pengembangan sains dan teknologi yang maju seiring dengan perkembangandan perubahan masyarakat. Layanan terbaik tidakdapat diberikan tanpa dokter yang menguasai ilmupengetahuan dan berkompetensi,” tutup Sulis.