Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M. Prasward Nugraha mendorong Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang diketuai Rios Rahmanto, mengesampingkan amicus curiae (sahabat pengadilan) dari 23 akademisi pendukung Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, dalam sidang putusan yang digelar Jumat (25/7/2025) siang ini.
Menurut Prasward, amicus curiae tersebut merupakan upaya penggiringan opini yang coba dibangun oleh tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto.
“Pernyataan dan amicus curiae 23 akademisi tersebut tidak selaras dengan bukti yang hadir pada proses persidangan. Justru terdapat indikasi yang serius bahwa statement tersebut tergiring opini yang berupaya dibangun oleh penasehat hukum Hasto Kristiyanto,” ujar Prasward dalam keterangannya kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Prasward menilai, rangkaian proses persidangan justru menjelaskan secara terang benderang tindakan Hasto yang menghalangi proses penegakan hukum, termasuk dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku.
“Bahkan bukti yang hadir didukung alat bukti elektronik berupa percakapan dan jejak digital yang tidak mungkin direkayasa,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada fakta persidangan yang menunjukkan bahwa perkara ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Hasto Kristiyanto.
“Opini tidak akan pernah mungkin bisa mengalahkan data dan alat bukti digital yang telah disusun dalam proses penyidikan dan penuntutan KPK, bukan hanya sekarang, bahkan sejak 5 tahun yang lalu ketika pertama kalinya proses pengungkapan perkara ini dimulai,” tegas Prasward.
Karena itu, dia mengingatkan majelis hakim agar objektif dalam menjatuhkan vonis terhadap Hasto yang menjadi terdakwa dalam kasus perintangan penyidikan dan suap terkait Harun Masiku.
Prasward menekankan, perkara ini sudah berjalan sangat lama, bukan muncul secara tiba-tiba. Ia menyebut polemik penanganan kasus ini telah berlangsung sejak operasi tangkap tangan (OTT) pada 2020 di era kepemimpinan KPK Firli Bahuri hingga pemecatan 57 pegawai KPK melalui mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Namun, Hasto baru ditetapkan sebagai tersangka pada akhir 2024 oleh pimpinan KPK saat ini, Setyo Budiyanto.
“Majelis Hakim harus bekerja secara objektif, proses penyelidikan dan penyidikan pada kasus Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto ini telah berlangsung sangat lama, bukan perkara kemarin sore,” kata Prasward.
Ia juga menilai, selama proses sidang dari Maret hingga Juli 2025, terungkap fakta adanya upaya politis untuk menghentikan perkara tersebut, sebagaimana diungkap sejumlah saksi, termasuk penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti.
“Mulai dari penangkapan para penyelidik dan penyidik KPK di Masjid PTIK, dan puncaknya berakibat pada pemecatan dari 57 pegawai KPK yang sebagiannya tergabung sebagai tim penyelidik, penyidik maupun tim pemburu Harun Masiku. Untuk itu, hakim harus melihat ini secara jernih,” ucapnya.
Prasward mengatakan, vonis yang akan dijatuhkan hakim nantinya menjadi tolok ukur keseriusan dalam pemberantasan korupsi. Jika Hasto dinyatakan bersalah, maka putusan itu akan menjadi bentuk pembuktian integritas hukum. Namun, jika dibebaskan, hal itu justru memperjelas adanya intervensi politik dalam proses peradilan.
“Vonis hakim hari ini adalah pembuktian dari komitmen pemberantasan korupsi. Justru ketika hakim melepaskan atau membebaskan perkara ini maka semakin terang intervensi politik memang sudah merasuki seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dalam sektor penegakan hukum,” ujar Prasward.
Dalam perkara ini, Hasto dituntut tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp600 juta. Jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Hasto didakwa menghalangi penyidikan kasus suap yang melibatkan Harun Masiku dalam kurun waktu 2019–2024. Ia diduga memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi Nur Hasan, untuk merendam ponsel ke dalam air setelah operasi tangkap tangan terhadap anggota KPU 2017–2022, Wahyu Setiawan.
Selain itu, ia juga disebut memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghilangkan barang bukti.
Tak hanya menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama advokat Donny Tri Istiqomah, terpidana Saeful Bahri, dan Harun Masiku memberikan uang sebesar 57.350 dolar Singapura (setara Rp600 juta) kepada Wahyu Setiawan agar membantu pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku.
Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 65 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
23 Akademisi Kirim Amicus Curiae
Filsuf Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis hingga Jaksa Agung periode 1999–2001, Marzuki Darusman, mengirimkan pandangan hukum sebagai amicus curiae dalam perkara Hasto Kristiyanto.
Hasto saat ini tengah menjalani sidang dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Putusan atas perkaranya akan dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (25/7/2025).
Romo Magnis dan Marzuki tergabung dalam kelompok yang menamakan diri Aliansi Akademik Independen. Kelompok ini terdiri dari 23 akademisi dan aktivis dari berbagai universitas.
“Perkenankan kami Aliansi Akademik Independen turut memberikan pandangan akademik kami dalam perspektif socio-legal yaitu melihat hukum dalam konteks, dan bertujuan mendukung prinsip due process of law, serta supremasi hukum dalam proses peradilan pidana,” sebagaimana dikutip dari dokumen amicus curiae tersebut, Selasa (22/7/2025).
Melalui amicus curiae itu, Romo Magnis dan kawan-kawan menilai penuntutan terhadap Hasto janggal dan menimbulkan kekhawatiran besar bahwa independensi peradilan dan demokrasi tengah melemah.
Para akademisi tersebut menyoroti bukti dari jaksa KPK yang dinilai lemah, prosedur pemeriksaan yang diwarnai pemaksaan, hingga waktu penyelidikan yang terkesan lebih didorong oleh motif politik ketimbang hukum.
Tindakan seperti itu, menurut mereka, kerap terjadi di negara dengan sistem demokrasi lemah atau di bawah rezim otoriter.
Adapun kasus hukum Hasto, menurut mereka, tidak bisa dipisahkan dari sikap kritisnya terhadap pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
“Dalam kasus Hasto Kristiyanto, penuntutan terhadap fungsionaris partai politik yang sangat kritis kepada pemerintahan Jokowi ini tampaknya didasarkan pada motif politik,” ujar Romo Magnis dan kawan-kawan.
Berikut daftar lengkap anggota Aliansi Akademik Independen:
1. Prof. Franz Magnis Suseno – STF Driyarkara
2. Prof. Maria W. Soemardiono – UGM
3. Mayling Oey-Gardiner – UI
4. Prof. Riris Sarumpaet – UI
5. Prof. Ramlan Surbakti – Unair
6. Prof. Manneke Budiman – UI
7. Prof. Francisia Saveria Sika Seda – UI
8. Prof. Daldiyono – UI
9. Prof. Teddy Prasetyono – UI
10. Prof. Melani Budianta – UI
11. Marzuki Darusman – Jaksa Agung 1999–2001
12. Prof. P.M. Laksono – UGM
13. Prof. Masduki – UII
14. Prof. Asvi Warman Adam – BRIN
15. Dr. Suparman Marzuki – UII
16. Dr. Hilmar Farid – sejarawan
17. Dr. A. Prasetyantoko – Unika Atma Jaya
18. Dr. Suraya Afif – UI
19. Dr. Haryatmoko – STF Driyarkara
20. Dr. Setyo Wibowo – STF Driyarkara
21. Dr. Pinky Wisnusubroto – Unair
22. Usman Hamid – STH Jentera
23. Prof. Sulistyowati Irianto – UI