Hapus Kemiskinan Ekstrem Jadi 0 Persen Pakai Data ‘Miring’, Next Police Sebut Pencitraan

Hapus Kemiskinan Ekstrem Jadi 0 Persen Pakai Data ‘Miring’, Next Police Sebut Pencitraan


Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah tak yakin pemeritah mampu meraih target pemerintah menggerus kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada 2029.

Dia menilai, kebijakan tersebut merupakan strategi politik pencitraan ketimbang menjalankan komitmen nyata dalam menanggulangi kemiskinan struktural yang semakin dalam.

Mengingatkan saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada Maret 2025, sebesar 0,85 persen. Atau setara 2,38 juta jiwa, menurun dari 1,26 persen (3,56 juta jiwa) pada Maret 2024.

Penurunan ini seiring perubahan standar garis kemiskinan ekstrem dari US$1,90 Purchasing Power Parity (PPP), menjadi US$2,15 PPP per kapita per hari. Angka ini, dinilai tak sesuai dengan realitas karena angkanya terlalu rendah.

“Jika pemerintah menggunakan garis kemiskinan ekstrem US$2,15 PPP, maka target nol persen bisa tercapai, bahkan sebelum 2029. Artinya, target itu bukanlah prestasi luar biasa. Tapi, buah dari manipulasi indikator kemiskinan,” ujar Shofie kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (29/07/2025).

Selanjutnya dia membeberkan hasil perhitungan Next Policy, jika menggunakan standar kemiskinan versi World Bank atau Bank Dunia terbaru, sebesar US$3,00 PPP per kapita per hari, maka angka kemiskinan ekstrem Indonesia per Maret 2024 mencapai 8,55 persen. Atau jauh di atas angka resmi pemerintah.

“Garis US$2,15 PPP itu sudah tidak lagi relevan. Indonesia sudah naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah atas. Kita membutuhkan ukuran kemiskinan yang lebih progresif, agar intervensi kebijakan benar-benar menjangkau kelompok miskin yang nyata, bukan yang disederhanakan oleh angka,” jelasnya.

Shofie menyebut, target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2029 adalah bentuk ‘target gagah yang kosong’, karena dirancang agar mudah dicapai, bukan untuk benar-benar menyelesaikan akar kemiskinan. “Pemerintah menciptakan target yang terlihat heroik, tetapi pada dasarnya hanya mengandalkan standar minimal. Ini manipulatif secara politik,” ucapnya.

Dia menilai, penggunaan indikator kemiskinan ekstrem ini, bisa menciptakan ilusi keberhasilan namun mengabaikan realitas puluhan juta rakyat Indonesia yang masih sedikit di atas garis kemiskinan ekstrem. Kebijakan pengentasan kemiskinan ini, seharusnya mendorong reformasi struktural dan distribusi kesejahteraan yang lebih adil.

“Jika kita benar-benar ingin menghapus kemiskinan ekstrem, maka target 0 persen harus didasarkan pada garis US$3,00 PPP per kapita per hari, bukan yang lebih rendah,” kata Shofie.

Dengan standar yang lebih tinggi tersebut, Shofie menilai strategi pertumbuhan ekonomi juga akan terdorong untuk lebih inklusif dan berpihak pada rakyat bawah. “Kita hanya bisa memberi apresiasi pada target nol persen jika didasarkan pada ukuran yang realistis dan bermakna,” tutur dia.
 

Komentar