Iran mungkin satu-satunya negara yang terkena sanksi ekonomi berkali-kali dari negara-negara Barat, AS dan sekutunya.
Diawali pada 1979 setelah revolusi yang menggulingkan rezim Mohammad Reza Pahlavi, Iran menjadi negara yang bermusuhan dengan AS dan Israel. Padahal di masa Pahlavi, Iran justru merupakan sekutu dua negara itu.
Setelah Republik Islam Iran di bawah Ayatollah Khomeini berdiri, sanksi pertama dijatuhkan kepada Negeri Para Mullah itu setelah tragedi penyanderaan staf Kedutaan Besar AS.
Sanksi dijatuhkan melalui Perintah Eksekutif 12170, yang mencakup pembekuan aset Iran senilai sekitar US$8,1 miliar, termasuk simpanan bank, emas dan properti lainnya, dan embargo perdagangan. Namun, dua tahun kemudian sanksi itu dicabut.
Lalu pada 1984, saat perang Iran-Irak pecah, AS dan sekutunya kembali memberikan sanksi berupa embargo pembelian senjata. Perang Iran-Irak sebenarnya melibatkan dua negara raksasa di belakangnya, yakni AS dan Uni Soviet (kini menjadi Rusia).
Pada 1995, AS lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjatuhkan sanksi kepada Iran karena tudingan mengembangkan senjata nuklir. Sanksi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Sanksi ini diperluas untuk mencakup embargo penuh dan komprehensif terhadap perdagangan bilateral (diberlakukan melalui EO 12957 dan EO 12959 yang ditandatangani oleh Presiden Bill Clinton) dan, pada tahun 1996, sanksi yang berupaya mengisolasi Iran dari perusahaan energi non-AS juga.
Perkembangan ini memunculkan terciptanya konsep baru, yaitu sanksi ‘sekunder’. Berbeda dari sanksi ‘primer’ yang menargetkan perdagangan AS dengan negara asing, sanksi ‘sekunder’ menargetkan orang atau entitas non-AS agar tidak terlibat dalam perdagangan dengan negara asing lainnya.
Pada 2005, saat Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menolak tawaran negosiasi Eropa untuk akses aktivitas nuklir yang ditangguhkan, sanksi pun kembali dijatuhkan.
Total empat resolusi disahkan untuk sanksi ini: resolusi DK PBB 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008), dan 1929 (2010). Mereka terutama berfokus pada akses Iran ke teknologi nuklir dan rudal, serta senjata.
Mereka juga mengizinkan, dan sampai batas tertentu, mendorong negara-negara untuk mengenakan sanksi nasional mereka sendiri terhadap Iran di bidang-bidang seperti energi, layanan keuangan, dan transportasi.
Meski ekonomi Iran mengalami tekanan akibat sanksi bertubi-tubi ini, namun negara ini terus bertahan. AS dan negara-negara sekutunya, pada 2010, memberlakukan sanksi ‘sekunder’ baru yang meningkatkan tekanan terhadap Iran dengan memaksa perusahaan dan bank asing untuk menarik diri dari Iran.
Pada 2012, upaya ini diimbangi dengan tekanan pada pelanggan yang membeli minyak Iran untuk mengurangi pembelian mereka dalam jumlah yang signifikan setiap 180 hari atau menghadapi kehilangan akses ke AS.
Hasilnya adalah penurunan ekspor Iran sebesar 1,4 juta barel per hari dibandingkan dengan tingkat sebelum sanksi.
Kenyang dengan sanksi membuat negara ini seakan menjadi ‘kebal’. Berkali-kali AS memaksa Iran kembali ke meja perundingan untuk menghentikan program nuklirnya, namun tidak pernah membuahkan hasil.
Sampai-sampai presiden Iran saat ini, Masoud Pezeshkian, mengatakan bahwa negaranya tidak akan mati kelaparan jika Barat menolak berunding atau bahkan kembali menjatuhkan sanksi.
“Kami akan menemukan cara untuk bertahan hidup,” ujar Pezeshkian, seperti dikutip dari Reuters.