Hidup dengan Rp20 Ribu Sehari?

Hidup dengan Rp20 Ribu Sehari?


Kemiskinan tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang wajar, apalagi dirayakan penurunannya hanya karena garis ukur diubah. Kita harus bertanya, apakah masyarakat sudah bisa hidup layak? Apakah upah mereka cukup untuk hidup bermartabat? Apakah negara sungguh hadir dalam memberi perlindungan sosial?

Angka Rp20 ribu per hari bukanlah standar hidup yang patut dipertahankan. Itu adalah peringatan keras bahwa negara masih gagal menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam political economy of poverty, kemiskinan adalah hasil dari keputusan politik dan konfigurasi kekuasaan yang gagal mendistribusikan sumber daya secara adil. Kita membutuhkan keberanian kolektif, baik dari pembuat kebijakan, akademisi, media, hingga masyarakat, untuk menyuarakan bahwa hidup dalam kemiskinan bukan kesalahan individu, melainkan hasil dari struktur yang timpang dan kebijakan yang setengah hati.

Jika kita ingin benar-benar mengentaskan kemiskinan, maka mulailah dengan mengakui bahwa hidup layak adalah hak, bukan belas kasihan. Dan untuk itu, garis kemiskinan harus dibarengi dengan garis keberpihakan.

Ukuran Kemiskinan Baru

Pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan garis kemiskinan terbaru sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Ini berarti, seseorang dikategorikan miskin jika hanya mampu membelanjakan sekitar Rp 20.205 per hari. Dari sudut pandang teknokratik, ini adalah alat ukur resmi. Tapi bagi jutaan warga miskin, itu adalah batas hidup yang sempit dan menyakitkan.

Angka ini tidak netral. Ia menentukan siapa yang dianggap “berhak” atas bantuan, siapa yang tercatat dalam data, dan siapa yang diabaikan. Namun, pertanyaannya bukan sekadar apakah garis itu naik atau turun. Yang lebih penting: apakah angka itu cukup mencerminkan realitas kemiskinan yang kompleks dan multidimensi?

Amartya Sen, dalam Capability Approach-nya, mengingatkan bahwa kemiskinan bukan semata-mata soal pengeluaran, tetapi tentang ketidakmampuan seseorang untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Jika pengeluaran Rp20 ribu sehari hanya cukup untuk makan seadanya, tanpa ruang untuk kesehatan, pendidikan, atau transportasi, maka itu bukan kehidupan yang layak, itu sekadar bertahan hidup.

Data BPS menunjukkan, 74,58 persen pengeluaran rumah tangga miskin dihabiskan untuk makanan. Hanya seperempatnya tersisa untuk kebutuhan non-makanan. Ini adalah gejala klasik dari structural poverty, di mana warga miskin terperangkap dalam lingkaran kekurangan. Kekurangan gizi, kesehatan, dan akses terhadap mobilitas sosial. Mereka miskin bukan karena malas, tetapi karena sistem ekonomi tidak memberi mereka ruang untuk berkembang.

Situasi di perkotaan semakin pelik. Meskipun secara nasional angka kemiskinan menurun, tingkat kemiskinan di kota justru naik menjadi 6,73 persen. Salah satu penyebabnya adalah lonjakan jumlah pekerja paruh waktu, orang-orang yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan tetap kesulitan mencukupi kebutuhan dasar. Dalam kurun Agustus 2024 hingga Februari 2025, kelompok ini bertambah 460 ribu orang. Inilah wujud nyata dari social exclusion theory, ketika warga negara tidak sepenuhnya dilibatkan dalam sistem ekonomi yang menjanjikan kesejahteraan.

Tekanan semakin berat ketika harga pangan naik. Minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih, komoditas penting rumah tangga, mengalami kenaikan harga yang signifikan. Bagi warga miskin kota yang sepenuhnya bergantung pada harga pasar, ini adalah ancaman langsung terhadap daya beli dan kualitas hidup. Teori relative deprivation menjelaskan bahwa warga miskin tidak hanya kekurangan secara absolut, tetapi juga merasa tertinggal karena membandingkan diri dengan kelompok lain yang kehidupannya jauh lebih layak. Ketimpangan ini melukai rasa keadilan.

Banyak dari kita lupa bahwa garis kemiskinan bukanlah cermin kehidupan bermartabat. Ia lebih menyerupai ambang batas kelangsungan hidup biologis. Oleh karena itu, solusi tidak bisa hanya menyesuaikan angka. Kita perlu memperjuangkan pendekatan berbasis living wage, bahwa setiap orang berhak atas upah minimum yang mencukupi kebutuhan hidup layak di wilayah tempat tinggalnya. Upah yang hanya cukup untuk bertahan hidup adalah bentuk pembiaran terhadap pemiskinan yang dilembagakan.

Sebagai seseorang yang pernah hidup dengan penghasilan tak menentu di kota besar, saya tahu betapa sulitnya mengelola uang belanja agar cukup untuk makan, membayar kontrakan, dan sesekali membeli obat anak. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Kesehatan menjadi kemewahan, dan masa depan terasa seperti konsep yang jauh. Dalam situasi itu, berbicara soal tabungan atau pendidikan anak bukan prioritas, melainkan kemewahan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berada di luar lingkaran kemiskinan.

Hak Hidup Layak

Pemerintah dan publik harus sadar bahwa hak atas hidup layak bukan sekadar slogan, tapi amanat konstitusi dan prinsip dasar dari Right to Development yang digaungkan oleh banyak negara berkembang dan lembaga internasional. Ini bukan soal belas kasihan, tapi soal keadilan sosial. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan dan mobilitas sosial melalui kebijakan yang inklusif dan berpihak.

Menjadikan Rp20 ribu sebagai batas kemiskinan resmi berarti mengabaikan kompleksitas realitas sosial. Ini sama dengan membiarkan warga miskin hidup dalam batas minimum yang ditetapkan oleh negara, bukan oleh martabat manusia. Kita memerlukan perubahan perspektif: dari kemiskinan sebagai beban statistik menjadi kemiskinan sebagai tanggung jawab politik dan moral.

Kemiskinan bukan sekadar soal pengeluaran rendah. Ia adalah hasil dari struktur yang timpang, kebijakan yang tidak berpihak, dan sistem ekonomi yang gagal memberi ruang tumbuh bagi semua orang. Jika kita ingin benar-benar menurunkan angka kemiskinan, maka kita perlu mengubah cara kita memandangnya. Tidak cukup hanya menyesuaikan garisnya, kita harus bergerak ke arah keberpihakan. Karena yang dibutuhkan warga miskin bukan sekadar angka baru, tetapi kehidupan yang sungguh-sungguh baru.

Komentar